Berita / Nasional /
Investasi Sektor Sawit di Indonesia Butuh Kepastian Hukum
Sekjen Gapki, Muhamad Hadi Sugeng Wahyudiono. (Ist)
Palangkaraya, elaeis.co - Penegakan hukum menjadi bagian penting dalam tata kelola industri kelapa sawit di Indonesia karena terkait dengan kenyamanan dan keamanan berinvestasi.
Sayangnya, industri kelapa sawit Indonesia saat ini masih menghadapi berbagai tantangan regulasi yang belum terselesaikan secara sistematis.
Hal ini disampaikan Sekretaris Jenderal (Sekjen) Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Muhamad Hadi Sugeng Wahyudiono dalam Forum Diskusi yang digelar Gapki Kalimantan Tengah, di Palangkaraya, pada Senin (5/2) lalu.
Dalam diskusi bertajuk 'Prospek Perkebunan Pasca UUCK' itu Hadi Sugeng memaparkan tiga hal utama yang menjadi tantangan industri pengerak ekonomi Indonesia itu, di antaranya produktifitas yang stagnan, tuntutan Fasilitas Pembangunan Kebun Masyarakat (FPKM) 20%, serta kebun sawit yang teridentifikasi masuk kawasan hutan.
“Diperlukan langkah yang solutif serta kolaboratif dalam menghadapi isu itu,” kata Hadi Sugeng dalam keterangan tertulis kepada elaeis.co, Rabu (7/2).
Apalagi, menurut Hadi, kebutuhan minyak sawit dalam negeri terus meningkat. Peningkatan volume ekspor juga penting dilakukan untuk menstabilitaskan harga TBS sawit petani.
Selain itu, peningkatan ekspor juga penting bagi devisa negara. Itu sebabnya, kata Hadi, penting sekali mendorong terobosan kebijakan pemerintah dalam meningkatkan produktifitas melalui percepatan program peremajaan sawit rakyat (PSR).
Terkait dengan regulasi FPKM 20% dan perkebunan kelapa sawit yang teridentifikasi masuk kawasan hutan sehingga berpotensi muncul konflik sosial secara vertikal dan horizontal, juga sangat perlu disikapi.
Menurut Hadi, diperlukan kepastian hukum yang mempertimbangkan dampak sosial dan ekonomi di Indonesia masa mendatang. Maraknya penjarahan dan konflik lahan antara masyarakat dan perusahaan merupakan dampak dari ketidakpastian hukum ini.
Kewajiban perusahaan membangun perkebunan rakyat seluas 20% dari luas tertanam tertuang dalam Permentan Nomor 26 Tahun 2007 dan tidak berlaku surut. Artinya bagi perusahaan yang telah beroperasi sebelum tahun 2007 tidak diwajibkan.
Walau begitu, Hadi memastikan bahwa perusahaan-perusahaan anggota Gapki melaksanakan kewajiban plasma sesuai dengan regulasi tersebut.
"Terkait UUCK Pasal 110b, perusahaan hanya diberi waktu satu kali daur dan harus dikembalikan menjadi fungsi hutan. Itu sangat memberatkan dan membutuhkan biaya besar,” ujar Hadi Sugeng.
Sementara, lanjutnya, di satu sisi Industri kalapa sawit harus menjaga devisa negara dari nilai ekspor. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah menerbitkan 20 SK yang melibatkan setidaknya 2.128 perusahan dengan luas 2,17 juta hektar yang teridentifikasi masuk kawasan hutan.
Namun, apabila 2,17 juta hektar perkebunan kelapa sawit didenda dan dicabut izinnya, Indonesia akan kehilangan 6,9 juta ton CPO atau setara dengan nilai devisa US 7,25 milyar atau Rp112 triliun.
Gubernur Kalimantan Tengah (Kalteng), Sugianto Sabran yang turut memberi sambutan dalam acara itu menyampaikan bahwa persoalan kawan hutan akan berdampak besar terhadap iklim investasi serta kehidupan masyarakat di Kalteng.
Pasalnya, daerah yang memiliki luasan terbesar ketiga atau 1,9 juta hektar ini sedang mengalami krisis sosial akibat penjarahan besar-besaran terhadap perusahaan perkebunan kelapa sawit yang telah berlangsung dua tahun terakhir.
Menurutnya, masalah itu berpangkal pada persoalan kawasan hutan, dan masalah plasma.
Sugianto Sabran meyakini pentingnya kehadiran pengusaha dengan investasi yang dilakukan bersama pemerintah. Sebab, kata Sugianto, hal ini akan mendorong terbukanya lapangan kerja, mengurangi angka kemiskinan, membangun sumber daya manusia (SDM) serta membangun infrastruktur daerah.
"Semua pihak harus mencari solusi. Maka itu, selain diskusi diperlukan langkah riil dalam menyikapi persoalan. Saya ingin pengusaha atau siapa saja yang berinvestasi di Kalteng aman dan nyaman, sehingga berdampak baik bagi pembangunan, juga masyarakat setempat. Termasuk pada segi infrastuktur, kesehatan, pendidikan dan lainnya," kata Sugianto Sabran.
Hadi Sugeng juga meyakini bahwa Gapki mewajibkan anggota-anggotanya taat aturan, beroperasi sesuai dengan kebijakan dan regulasi yang ada.
Penegakan hukum ini, menurutnya, menjamin keamanan berusaha dan berinvestasi dalam industri perkebunan kelapa sawit. "Semua persoalan harus diselesaikan, sesuai dengan ranah hukum dan perundang-undangan, tidak menyimpang. Kami terus melangkah sesuai aturan dan regulasi. Penegakan hukum harus dijalankan," ujar Hadi Sugeng.







Komentar Via Facebook :