Berita / Nusantara /
Ini Sebabnya Harga Minyak Goreng Belum Turun
Minyak goreng kemasan dipajang di salah satu supermarket di Pekanbaru. Foto: Bayu/Elaeis.co
Medan, Elaeis.co - Banyak yang heran, Indonesia adalah produsen minyak sawit terbesar di dunia, tapi bisa-bisanya minyak goreng mahal. Tak cuma emak-emak, petani sawit pun ikut uring-uringan karena sampai sekarang harga minyak goreng tak kunjung turun.
Gunawan Benjamin, seorang ekonom dan akademisi di sejumlah kampus di Kota Medan, mengatakan, kenaikan harga minyak goreng memang tak bisa dielakkan karena banyak hal yang mempengaruhinya.
Efek pandemi Covid-19 adalah salah satunya. Permintaan minyak sawit naik karena banyak negara membutuhkannya untuk kebutuhan energi, pangan, dan kesehatan.
Di saat bersamaan, produksi minyak kedelai yang menjadi saingan minyak merosot tajam. Alhasil, minyak sawit menjadi primadona di pasar global.
"Situasi ini membuat harga CPO naik hingga RM 5.000 per ton di pasar global. Padahal biasanya RM 2.300 per ton. Berbarengan dengan itu, mandatori biodiesel B30 juga jalan terus. Artinya, minyak sawit banyak tersedot untuk mandatori biodiesel dan pasar ekspor. Tahu sendiri kan kalau pasar ekspor bergairah? Pastilah hasrat pengusaha untuk ekspor CPO lebih tinggi," kata Gunawan kepada Elaeis, Minggu (5/12/2021) sore.
"Sudah bisa ditebak, kenaikan harga CPO hingga lebih dari 100 persen di tahun 2021 ini menjadi asal muasal lonjakan harga minyak goreng dan ujung-ujungnya emak-emak lah yang banyak merepet," tambahnya.
Ia memprediksi tren kenaikan harga minyak goreng bakal tetap berlangsung di tahun 2022. Pasalnya, pemulihan ekonomi global masih berlangsung dan produksi minyak kedelai juga tak bisa memenuhi seluruh kebutuhan minyak nabati di pasar global.
Di samping itu, ada faktor lain yang saat ini juga sedang membuat was-was banyak negara di dunia. Yakni kebijakan The Fed atau Bank Sentral Amerika Serikat (AS) yang kabarnya akan melakukan tapering atau kebijakan pembelian atau penarikan aset dan mata uang dollar yang beredar di luar negeri.
Gunawan mengatakan, jika tapering benar dijalankan The Fed, bukan perkara mudah menghadapinya dan rupiah berpotensi mengalami pelemahan yang sangat dalam.
Apalagi kebijakan tapering itu kemungkinan diiringi dengan kenaikan suku bunga acuan The Fed. "Rupiah bisa tembus ke level Rp 14.400 per dolar," kata Gunawan.
Lalu, jika rupiah melemah, Gunawan memprediksi biasanya pemerintah akan memberikan insentif untuk kegiatan ekspor. Jika insentif ditingkatkan, maka ekspor minyak sawit akan semakin bertambah bergairah.
"Kalau rupiah melemah, sementara harga CPO di pasar global stabil seperti saat ini, sudah bisa ditebak pengusaha sawit akan lebih mementingkan ekspor ketimbang membuat minyak goreng. Konsekuensinya bisa ditebak, harga minyak goreng akan susah turun," paparnya.







Komentar Via Facebook :