https://www.elaeis.co

Berita / Nusantara /

Ini Pilihan Lain Ketimbang Stop Ekspor

Ini Pilihan Lain Ketimbang Stop Ekspor

Direktur Eksekutif PASPI, Tungkot Sipayung. foto: aziz


Jakarta, elaeis.co - Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI) menyebut bahwa sebetulnya negara tidak perlu menyetop ekspor bahan baku minyak minyak goreng dan minyak goreng (migor). 

Sebab cara lain untuk memenuhi kebutuhan migor di dalam negeri masih ada. "Misalnya dengan Bantuan Langsung Tunai (BLT). BLT itu saya lihat sudah bagus. Ketersediaan migor sudah bagus meski harga naik. Nah, kalau pemerintah merasa harga migor masih tergolong mahal, lakukan cara lain. Misalnya dengan menaikkan pungutan dua kali lipat dari yang ada sekarang. 

"Kalau pungutan dinaikkan dua kali lipat, otomatis pengurangan ekspor akan terjadi. Toh kalaupun pungutan dua kali lipat, industri sawit masih untung. Masih ada sekitar USD1000 harga ekspor," kata Direktur Eksekutif PASPI kepada elaeis.co, tadi siang. 

Tapi kalau ekspor benar-benar distop kata Tim Ahli Pemerintah pada Kementerian Koordinator Bidang 
Perekonomian dalam menghadapi kebijakan Renewable Energy Directives (RED II) ILUC Uni Eropa ini, dampak negatifnya akan sangat luar biasa. 

Stop ekspor itu kata Tungkot akan cepat merembet ke harga TBS petani. Itu terjadi lantaran oleh stop ekspor tadi, tangki timbun CPO akan cepat penuh. Ujung-ujungnya, Pabrik Kelapa Sawit (PKS) akan mengurangi produksi dan dampaknya TBS tidak tertampung. Ini akan menimbulkan kerugian yang sangat besar. 

"Stop ekspor baku migor dan migor juga akan membuat disparitas harga domestik dengan harga dunia. Ini akan memberi insentif untuk penyelundupan. Apalagi kita punya perbatasan laut yang sangat panjang, sulit diawasi. Jika penyeludupan ini besar, kebijakan stop ekspor juga tidak akan efektif mengatasi kelangkaan migor domestik," ujarnya.

Meski begitu, Tungkot yakin presiden akan tetap memikirkan sawit rakyat. Untuk itu harus ada kebijakan lanjutan. "Presiden akan membikin kebijakan yang terbaiklah," dia berharap. 

Di sisi lain, Kepala Bidang (Kabid) Pengolahan dan Pemasaran, Dinas Perkebunan (Disbun) Provinsi Riau, Defris Hatmaja menyebut, dalam penetapan Harga Tandan Buah Segar (TBS) sawit, regulasi yang mengatur adalah Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) nomor 1 tahun 2018.

Khusus di Provinsi Riau telah diatur pula teknis operasionalnya di Pergub Riau No. 77/2020 tentang Tata Niaga TBS produksi pekebun Riau.

"Dalam penetapan harga TBS, Indeks K, harga CPO dan harga PKO dunia sangat mempengaruhi. Untuk Indonesia, kita berpedoman pada harga lelang di KPBN Jakarta. Lelang ini berdasarkan harga CPO dan PKO pasar dunia," katanya. 

Artinya kata Defris, kalau harga CPO dan PKO dunia naik, tentu akan berdampak pada harga TBS pekebun. Begitu juga sebaliknya. Semua itu terjadi lantaran penetapan harga TBS mengacu pada harga CPO dan PKO dunia tadi. 

Tapi bagi Tungkot, taruhlah Permentan 1 tahun 2018 tadi jadi acuan. "Untuk apa harga tinggi kalau TBS petani enggak terserap," katanya. 



 

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Komentar Via Facebook :