Berita / Nasional /
Industri Sawit Indonesia Terancam Kebijakan America First, Pemerintah Diminta Lakukan ini
Presiden AS, Donald Trump. foto: IG Whitehouse
Jakarta, elaeis.co - Pengamat kelapa sawit, Mansuetus Darto, melihat kebijakan America First yang diterapkan oleh pemerintahan Presiden Donald Trump tidak hanya berdampak pada ekonomi domestik Amerika Serikat. Tetapi juga mempengaruhi negara-negara mitra dagang, termasuk Indonesia. Salah satu sektor yang paling terpengaruh adalah industri perkebunan sawit, yang merupakan komoditas unggulan ekspor Indonesia.
Menurutnya, kebijakan menaikkan tarif impor barang ke Amerika Serikat yang diterapkan oleh Trump pada negara-negara tertentu bertujuan untuk mengurangi defisit perdagangan dan mendorong produksi domestik. Dengan mengenakan tarif tinggi, menengah, dan rendah kepada negara-negara yang berbeda, pemerintah AS berusaha melindungi industri dalam negeri dan memaksa negara-negara eksportir untuk meningkatkan standar produksi mereka.
"Di balik kebijakan ini, ada tantangan besar bagi Indonesia. Banyak produk, termasuk minyak kelapa sawit (CPO), terpengaruh oleh tarif yang lebih tinggi. Pada Januari 2025, ekspor sawit Indonesia ke Amerika Serikat bahkan tercatat mengalami penurunan sebesar 20% dibandingkan tahun sebelumnya, padahal saat itu kebijakan menaikkan tarif masih berupa wacana," ujarnya dalam siaran pers yang diterima elaeis.co, Jumat (4/4).
Bagi industri sawit Indonesia, kebijakan tarif ini menimbulkan dampak negatif yang cukup signifikan. Para pelaku usaha sawit menghadapi ancaman penurunan harga TBS (Tandan Buah Segar) akibat pengaruh pasar Amerika yang semakin sempit. Untuk mengatasi dampak ini, banyak perusahaan perkebunan harus mengurangi biaya operasional mereka, namun tidak bisa terlalu efisien karena akan berdampak pada penurunan produksi.
"Dalam kondisi seperti ini, para petani sawit kecil yang bergantung pada hasil penjualan TBS untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari berpotensi terimbas langsung," paparnya.
Selain Amerika Serikat, Uni Eropa (UE) juga menjadi pasar penting bagi minyak sawit Indonesia. Namun, dengan adanya kebijakan EUDR (European Union Deforestation Regulation) yang mulai berlaku pada 2026, tantangan untuk memenuhi standar kepatuhan semakin besar. Perusahaan sawit Indonesia harus berinvestasi lebih banyak untuk memastikan bahwa produk mereka memenuhi standar yang ditetapkan, termasuk aspek lingkungan dan keberlanjutan.
Menurut Darto, solusi untuk menghadapi tantangan ini adalah dengan menggalang kepatuhan terhadap regulasi pasar Eropa, bekerja sama dengan petani, dan membentuk skema audit yang transparan dan independen.
Kemudian di tengah ketidakpastian ini, pemerintah Indonesia juga menghadapi masalah domestik dengan meningkatnya tarif ekspor untuk produk sawit, seperti pungutan ekspor (PE) dan bea keluar (BK) yang sudah mencapai 170 USD/ton. Meskipun ada potensi untuk mengalihkan sebagian ekspor ke pasar domestik, hal ini tidak cukup untuk menutupi kerugian yang ditimbulkan oleh penurunan ekspor ke pasar global.
Dia mengingatkan, penting bagi pemerintah Indonesia untuk menurunkan tarif ekspor agar harga TBS tidak tertekan lebih lanjut dan memberikan ruang bagi petani sawit untuk tetap bertahan.
"Kita mendorong pemerintah untuk menurunkan tarif PE dan BK agar harga TBS tidak terpengaruh oleh pasar Amerika Serikat," tuturnya.
Kemudian harus juga mencari pasar baru yang lebih kompetitif, misalnya dengan menerapkan standar ISPO yang lebih tinggi dan skema audit yang independen.
"Perlu juga dilakukan pembentukan Badan Sawit Nasional yang mandiri. Lembaga ini dapat melindungi kepentingan petani dan pelaku usaha sawit tanpa intervensi politik. Selanjutnya menciptakan iklim usaha yang sehat di dalam negeri dengan mengurangi korupsi dan mempercepat proses perizinan," terangnya.
Dengan demikian " yang diterapkan oleh Amerika Serikat jelas memiliki dampak besar bagi industri sawit Indonesia,
Dia yakin, dengan strategi yang tepat, seperti memperkuat kepatuhan terhadap regulasi internasional, mencari pasar baru, dan mendorong kebijakan domestik yang lebih mendukung, maka dampak kebijakan America First bisa ditekan baik dari sisi ekspor maupun harga TBS.
"Indonesia masih memiliki peluang untuk mempertahankan posisi sebagai produsen sawit terbesar dunia. Yang terpenting, kerjasama antara pemerintah, pelaku usaha, dan petani akan sangat menentukan masa depan industri sawit Indonesia di kancah global," tandasnya.







Komentar Via Facebook :