Berita / Nasional /
Industri AS Butuh Minyak Nabati Indonesia, Kenaikan Tarif Tidak Kurangi Volume Impor
Ilustrasi
Jakarta, elaeis.co – Meskipun Presiden Donald Trump memberlakukan tarif impor tambahan 10% pada produk dari Indonesia, Amerika Serikat (AS) dinilai tetap sangat membutuhkan pasokan minyak sawit dan kelapa dari negara tropis ini.
Pada 2023, ekspor minyak nabati Indonesia ke AS mencapai angka US$ 2,13 miliar, menguasai lebih dari 70% pasar minyak nabati AS. Ini menjadi bukti betapa besar peran Indonesia dalam memenuhi kebutuhan bahan baku industri di Negeri Paman Sam, mulai dari pangan, kosmetik, hingga biofuel.
Minyak nabati, terutama minyak sawit dan kelapa, memiliki profil lemak jenuh yang lebih stabil, membuatnya ideal untuk berbagai produk olahan yang membutuhkan ketahanan terhadap suhu tinggi.
"Meskipun kenaikan tarif impor akan mempengaruhi harga produk Indonesia di pasar AS, tapi ketergantungan AS pada minyak nabati Indonesia sangat besar. Kenaikan tarif tidak akan secara signifikan mengurangi volume impor, karena tidak ada alternatif yang setara dalam memenuhi kebutuhan industri mereka," kata Dr Sutrisno, ahli ekonomi perdagangan internasional dari Universitas Gadjah Mada, dalam pernyataannya dikutip Senin (14/4).
Diakuinya, kenaikan tarif impor, yang ditunda Trump pemberlakuannya selama 90 hari, tentu akan mempengaruhi harga produk Indonesia di pasar AS. Namun, meski tarif meningkat, volume impor tetap tinggi, bahkan mengalami kenaikan kecil.
Ini mengindikasikan bahwa meskipun harga produk minyak nabati Indonesia lebih mahal, kebutuhan AS terhadap pasokan ini tak dapat digantikan dalam waktu singkat.
Dominasi Indonesia dalam pasar minyak nabati AS sebenarnya bukanlah fenomena sementara. Dalam 13 tahun terakhir, ekspor minyak nabati Indonesia ke AS mengalami lonjakan hampir 20 kali lipat.
Sebaliknya, Malaysia yang sebelumnya menjadi pesaing utama Indonesia dalam pasokan minyak sawit, kini mengalami stagnasi bahkan penurunan drastis. Krisis tenaga kerja dan lambannya respons terhadap isu keberlanjutan membuat Malaysia kehilangan pangsa pasar yang sebelumnya dikuasainya.
Menurut Dr. Ayu Yuliana, peneliti di Pusat Penelitian Kebijakan Energi, Indonesia aktif memperkenalkan sertifikasi keberlanjutan seperti RSPO dan ISPO, yang semakin menarik minat perusahaan-perusahaan besar di AS yang ingin menjamin produk mereka ramah lingkungan dan tidak menggunakan tenaga kerja paksa.
"Keberlanjutan menjadi faktor utama yang membuat Indonesia tetap menjadi pilihan utama bagi perusahaan-perusahaan besar di AS, meskipun ada lonjakan tarif impor," ujarnya.







Komentar Via Facebook :