Berita / Nasional /
Indonesia Pilih Amankan Biodiesel, Ekspor CPO Bisa Kena Rem
Ilustrasi Ekspor CPO.(Int)
Jakarta, elaeis.co - Indonesia dihadapkan pilihan sulit diantara menjaga pasokan biodiesel B40 atau melepas ekspor sawit ke pasar dunia. Demi energi hijau dalam negeri, ekspor CPO terancam kena rem ketat.
Indonesia berpotensi mengurangi ekspor minyak kelapa sawit mentah (CPO) demi menjaga pasokan biodiesel dalam negeri. Kebijakan ini mencuat seiring implementasi program biodiesel B40 yang sudah berjalan pada 2025.
Dalam laporan terbaru BMI bertajuk Indonesia Biofuel Outlook – Ambitions of B50 in 2026 Unlikely to Be Met yang dirilis 19 September 2025, disebutkan bahwa kebutuhan biodiesel nasional tahun ini mencapai 15,4 juta kilo liter (kl). Volume tersebut setara dengan 14,1–14,2 juta ton CPO, naik hampir 2 juta ton dibandingkan kebutuhan tahun 2024.
Dengan proyeksi produksi sawit mencapai 47,5 juta ton pada musim 2025/2026, konsumsi domestik diperkirakan menyerap hampir setengah dari total produksi. Namun, ruang pasokan semakin ketat jika ekspor diperhitungkan.
Data USDA menunjukkan bahwa pada 2024/2025, total konsumsi domestik ditambah ekspor hampir menyamai produksi sawit nasional. Kondisi ini membuat cadangan untuk mendukung tambahan kebutuhan biodiesel menjadi terbatas.
BMI memperkirakan Indonesia perlu mengalihkan sekitar 8,1% dari proyeksi ekspor 2025/2026 agar kebutuhan bahan bakar campuran B40 dapat terpenuhi. Langkah ini berarti sebagian volume CPO yang biasanya dikirim ke luar negeri harus diprioritaskan untuk pasar domestik.
“Pasokan biodiesel harus dijaga, sebab langsung berkaitan dengan ketahanan energi nasional. Konsekuensinya, ekspor bisa terpangkas,” tulis laporan BMI.
Pemerintah menargetkan peningkatan kadar campuran biodiesel dari B40 menuju B50 pada 2026. Namun, laporan BMI menilai ambisi itu sulit terwujud tepat waktu.
Kendala terbesar terletak pada ketersediaan bahan baku CPO dan fluktuasi harga global. Jika ekspor tetap dibiarkan tinggi, risiko pasokan domestik yang seret akan menghambat program energi hijau ini.
Sebagai alternatif, sejumlah pengamat menilai B45 bisa menjadi jalan tengah, lebih realistis dibanding melompat langsung ke B50.
Jika sebagian ekspor dialihkan ke pasar domestik, neraca perdagangan Indonesia bisa terdampak. Namun, langkah ini sekaligus memperkuat posisi negara dalam transisi energi hijau.
Pakar menilai, peningkatan produktivitas perkebunan rakyat, investasi hulu sawit, dan inovasi teknologi pengolahan menjadi kunci. Tanpa perbaikan di sisi produksi, ambisi energi bersih berisiko terbentur keterbatasan bahan baku.







Komentar Via Facebook :