Berita / Internasional /
Indonesia-Malaysia Sepakat Lanjutkan Joint Task Force EUDR, ini Fokusnya
Jakarta, elaeis.co - Parlemen Uni Eropa menunda pemberlakuan Undang-undang Anti Deforestasi Uni Eropa atau European Union Deforestation Regulation (EUDR) selama satu tahun. Menindaklanjuti keputusan itu, Indonesia dan Malaysia selaku produsen sawit terbesar dunia sepakat untuk melanjutkan ad hoc dari satuan tugas (satgas) bersama atau joint task force EUDR.
Uni Eropa menargetkan EUDR dapat mengurangi dampak deforestasi, menurunkan emisi karbon, serta memastikan komoditas yang diperdagangkan tidak terkait dengan deforestasi. Sasaran regulasi ini yakni komoditas minyak kelapa sawit, kayu, kopi, kakao, karet, kedelai, dan produk daging.
EUDR mewajibkan pelaku bisnis yang mengekspor komoditas tersebut ke Eropa membuktikan bahwa rantai pasok mereka bebas dari kontribusi terhadap deforestasi. Regulasi ini akan diberlakukan pada 30 Desember 2025 untuk perusahaan besar dan 30 Juni 2026 untuk perusahaan dan petani kecil.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, penundaan tersebut akan dimanfaatkan oleh satgas untuk berdiskusi dengan pihak Uni Eropa terkait standar sertifikasi yang akan digunakan sebagai jaminan keberlanjutan produk sawit.
Saat ini Indonesia dan Malaysia masing-masing memiliki sertifikasi keberlanjutan sendiri. Yakni Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) dan Malaysia Sustainable Palm Oil (MSPO). Namun sejumlah negara konsumen condong pada sertifikasi Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO).
"Permasalahannya, Uni Eropa tidak mengakui standar-standar sertifikasi tersebut, bahkan RSPO. Itu sebabnya mereka setidaknya harus memiliki satu standar," kata Airlangga dalam konferensi pers pertemuan tingkat menteri Dewan Negara-Negara Penghasil Minyak Sawit atau 12th Ministerial Meeting of Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC) di Jakarta, kemarin.
Fokus lain yang akan menjadi perhatian satuan tugas ini adalah traceability atau keterlacakan rantai pasok sawit. Menurutnya, Uni Eropa harus menyetujui mekanisme pelacakan yang ditawarkan Indonesia dan Malaysia.
"Pada dasarnya Indonesia dan Malaysia siap memberikan data-data jika diminta oleh Uni Eropa dan siap mematuhi segala peraturan yang berlaku di global terkait pengelolaan sawit. Tapi kita menolak permintaan Uni Eropa yang hendak mengambil data secara langsung dari produsen sawit," tegasnya.
"Kita negara berdaulat, kedaulatan Indonesia tidak bisa diintervensi negara lain. Uni Eropa tidak bisa memaksakan aturan hukum mereka, setiap negara memiliki keunikan hukum masing-masing," tambahnya.
Pada kesempatan yang sama, Menteri Perkebunan dan Komoditas Malaysia Johari Abdul Ghani menambahkan, joint task force juga akan diarahkan untuk mengkampanyekan sawit berkelanjutan dengan mematuhi standar yang ditetapkan dalam EUDR.
"Pengusaha besar sebenarnya bisa mematuhi EUDR, tetapi petani sawit skala kecil belum bisa. Kami tengah membantu petani kecil agar tetap bisa menjual sawit sesuai dengan regulasi yang ada. Saat ini ada sekitar 450 ribu petani sawit di Malaysia," ungkapnya.
"Kita tidak bisa menghalangi hak petani kecil untuk menanam kelapa sawit, karena ini adalah pendapatan yang bisa mereka gunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan,” tambahnya.
Dia menekankan bahwa Malaysia dan Indonesia akan terus bersinergi dalam mengantisipasi dampak EUDR. "Sepanjang bermanfaat bagi lingkungan dan agenda keberlanjutan, akan kita penuhi. Namun lebih dari itu, saya pikir kita harus sangat berhati-hati, karena setiap negara punya aturan hukum masing-masing,” katanya.
Komentar Via Facebook :