Berita / Lingkungan /
Indonesia Lepas Peluang Pimpin Penyelamatan Iklim Global
Sejumlah pemimpin dunia berpartisipasi dalam pertemuan virtual Climate Change Summit bersama Presiden Amerika Serikat Joe Biden (Mustafa Kamaci/Anadolu Agency via Getty Images)
Jakarta, Elaeis.co - Sebagai pemilik hutan hujan tropis ketiga terluas di dunia, Indonesia sangat berpotensi memimpin negara-negara di dunia dalam menangani krisis iklim. Sayangnya, Indonesia melepas kesempatan jadi pionir penyelamatan iklim lobal.
Direktur Program Yayasan Madani Berkelanjutan, Nadia Hadad, mengatakan, keberhasilan menurunkan deforestasi hingga 75 persen di periode 2019-2020 sebenarnya membukan peluang besar bagi Indonesia untuk memimpin penanganan krisis iklim. "Capaian tersebut adalah wujud komitmen dan aksi nyata yang dilakukan Indonesia dalam menangani krisis iklim dunia. Pemerintah Indonesia juga telah berhasil menurunkan angka deforestasi hutan alam selama 4 tahun berturut-turut," katanya dalam pernyataan tertulis yang disampaikan kemarin.
Namun, saat berpidato pada forum Leaders Summit on Climate yang digagas oleh Presiden Amerika Serikat Joe Biden tanggal 22 April lalu, Presiden Joko Widodo terkesan tidak memanfaatkan peluang memimpin penanganan krisis iklim. Menurut Nadia, Joko Widodo hanya menyampaikan bahwa moratorium izin baru di hutan alam dan lahan gambut telah mencakup 66 juta hektar, lebih luas dari gabungan Inggris dan Norwegia.
"Itu saja belum cukup. Masih diperlukan upaya untuk memperkuat komitmen iklim di sektor Penggunaan Lahan dan Perubahan Tata Guna Lahan Kehutanan (LULUCF) tersebut," katanya.
Menurutnya, jika ingin memang punya komitmen ingin jadi yang terdepan, pemerintah Indonesia harusnya memperkuat kebijakan penghentian pemberian izin baru dengan menambahkan 9,4 juta hektare hutan alam yang belum dilindungi dalam PIPPIB, PIAPS. "Itu akan membantu Indonesia lebih menekan angka deforestasi," katanya.
"Melindungi hutan alam yang terlanjur berada di dalam izin dan konsesi juga akan membantu memastikan pencapaian komitmen iklim Indonesia di sektor kehutanan. Sehingga Indonesia bisa menjadi negara yang terdepan dalam menangani krisis iklim dunia,” Yosi Amelia, Program Officer Hutan dan Iklim Yayasan Madani Berkelanjutan, menambahkan.
Yosi menilai target pemulihan mangrove seluas 620 ribu hektare yang disampaikan Presiden Joko Widodo pada pidatonya patut diapresiasi. "Namun perlu adanya peningkatan target pemulihan gambut untuk membantu sektor hutan dan lahan menjadi net sink pada 2030. Dalam Perpres BRGM, target pemulihan gambut hanya mencakup luasan area 1,2 juta hektare untuk periode 2021-2024 dari wilayah prioritas restorasi yang mencapai 2,6 juta hektare dari wilayah prioritas 2016-2020. Sayangnya, target tersebut hanya mencakup pemulihan ekosistem gambut yang berada di luar area izin dan konsesi. Sementara itu di sisi lain 14,2 juta hektare ekosistem gambut telah dibebani izin dan 99% ekosistem gambut Indonesia berada dalam status rusak,” bebernya.
Dia mendesak pemerintah Indonesia segera merealisasikan target restorasi gambut yang sudah dibuat dan memperluas pelaksanaan restorasi gambut ke area yang terbakar pada kebakaran hebat tahun 2019 lalu. "Restorasi tidak hanya pada ekosistem gambut yang berada di luar area izin atau konsesi, namun juga ekosistem gambut yang berada di dalam area izin atau konsesi,” katanya.
Terkait peluang dan rencana pengembangan biofuel di Indonesia dalam upaya penurunan emisi karbon di sektor energi, dia mengingatkan pemerintah lebih hati-hati. "Jangan sampai upaya pengembangan energi terbarukan mengorbankan hutan alam Indonesia. Hutan alam berganti menjadi hutan tanaman energi atau memperluas perkebunan sawit guna memenuhi bahan baku biofuel. Pembukaan hutan dan lahan untuk biofuel akan berisiko meningkatkan deforestasi sehingga Indonesia akan gagal mencapai komitmen iklimnya serta mencapai net zero emission di tahun 2050," katanya.
Dalam forum tersebut, negara-negara peserta KTT telah menyampaikan komitmen yang lebih ambisius mengurangi emisi dalam upaya memerangi krisis iklim. Brasil yang memiliki hutan hujan tropis terluas di dunia, misalnya, berkomitmen mencapai netralitas karbon pada tahun 2050. Namun, Indonesia belum berani menunjukkan komitmen yang ambisius untuk mencapai net zero emission sebelum tahun 2050. “Indonesia harusnya berani menyampaikan komitmen pencapaian netral karbon (net zero emission) di tahun 2050 sebagaimana ditargetkan di dalam Persetujuan Paris. Seharusnya Indonesia menjadikan forum Leaders Summit on Climate itu sebagai momentum untuk memimpin negara-negara lain di dunia untuk mengatasi krisis iklim,” kata Nadia.






Komentar Via Facebook :