Berita / Internasional /
Indonesia dan Malaysia Gandeng FAO Susun Standar Keberlanjutan Minyak Sawit Global
Wakil Menlu RI Arief Havas Oegroseno berbicara di Konferensi Internasional RSI di Medan. Foto: ist.
Jakarta, elaeis.co – Indonesia dan Malaysia, yang merupakan produsen minyak sawit terbesar di dunia, berkomitmen untuk menciptakan standar keberlanjutan sawit baru yang dapat diterima secara internasional.
Untuk itu, Pemerintah Indonesia dan Malaysia menjalin kerjasama dengan Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (Food and Agriculture Organization/FAO) untuk merumuskan standar keberlanjutan global bagi industri minyak sawit.
Wakil Menteri Luar Negeri RI, Arief Havas Oegroseno menjelaskan, diskusi antara Indonesia, Malaysia, dan FAO bertujuan untuk menyusun standar keberlanjutan minyak sawit dan minyak kelapa yang lebih adil dan inklusif.
“Kami telah berdiskusi dengan FAO untuk melakukan studi dalam rangka menyusun suatu standar sustainability atau keberlanjutan global untuk palm oil (minyak sawit) dan cocconut oil (minyak kelapa),” ungkapnya dalam pernyataan resmi dikutip elaeis.co Kamis (20/2).
Menurutnya, standar keberlanjutan sawit global yang akan disusun bersama ini akan menjadi jawaban atas tekanan dan tuntutan, khususnya dari Uni Eropa, terhadap industri minyak sawit. “Langkah ini penting agar Indonesia dan Malaysia dapat mengajukan standar keberlanjutan yang sudah diakui oleh FAO, sehingga tidak hanya Uni Eropa yang memiliki standar, tetapi juga ada standar global yang lebih inklusif,” jelasnya.
“Nanti kita bisa menyampaikan kepada Uni Eropa bahwa kita sudah memiliki standar sustainability global di tingkat FAO. Jadi bukan hanya mereka yang punya standar, tetapi juga ada standar global,” lanjutnya.
Havas juga mengaku sudah meminta kepada Organisasi Negara-Negara Produsen Minyak Sawit (CPOPC) untuk merumuskan standar keberlanjutan global yang bisa diterima lebih luas dan dibawa ke tingkat FAO. “Sehingga kita memiliki standar keberlanjutan global dengan tingkat keberterimaan yang lebih luas,” ujarnya.
Terkait penundaan penerapan EUDR (Undang-Undang Anti-Deforestasi Uni Eropa), Havas mengaku mendapat ‘bisikan’ dari orang Eropa terkait alasan penundaannya. Meski pihak Uni Eropa tidak menjelaskan alasannya secara resmi dan terbuka, menurutnya ada lima alasan utama di balik penundaan tersebut.
Pertama, EUDR terlalu kompleks, rigid dan detail sehingga jika diterapkan bisa menimbulkan implikasi-implikasi yang berat. Bahkan industri kayu Eropa juga keberatan dengan pemberlakuan EUDR. Kedua, karena tekanan politik di mana sekarang banyak partai kanan berkuasa di Eropa dan cenderung untuk menentang kebijakan-kebijakan yang complicated.
Berikutnya, karena tantangan operasional dan teknologi di mana teknologi satelit yang digunakan Uni Eropa bukanlah teknologi yang terlalu canggih. “Nyatanya satelit Uni Eropa menggambarkan tarmac di Bandara Soekarno Hatta sebagai korban deforestasi. Bahkan ada kebun pisang yang dibaca satelit mereka sebagai tropical forest. Ini jelas memberatkan dari sisi enforcement dan compliance,” bebernya.
Alasan lain penundaan EUDR yakni alasan ekonomi dan kewajiban bagi petani yang menjadi eksporter untuk memenuhi standar yang diberlakukan bagi industri besar. Dan yang terakhir, karena adanya ketidaksesuaian antara EUDR dengan peraturan Uni Eropa lainnya.







Komentar Via Facebook :