https://www.elaeis.co

Berita / Lingkungan /

Indonesia Bisa Netral Karbon di 2050, Tapi...

Indonesia Bisa Netral Karbon di 2050, Tapi...

Manajer Pengelolaan Pengetahuan Yayasan Madani Berkelanjutan, Anggalia Putri. foto: shot


Jakarta, elaeis.co - Kalau benar-benar niat, sebenarnya Indonesia bisa mencapai netral karbon (net zero emission) sebelum tahun 2050.

Soalnya hasil analisis Institute for Essential Services Reform (IESR), ada sederet hal yang bisa dilakukan oleh Pemerintah Indonesia untuk itu.   

Pertama, menekan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sektor pembangkit listrik, transportasi dan industri yang kontribusi totalnya 406,8 juta ton CO2e atau sekitar 93% dari total emisi GRK sektor energi tahun 2015.

Caranya, tingkatkan kapasitas pembangkit energi terbarukan menjadi minimal 24 GW pada tahun 2025. Lalu pada 2050, bangun 408-450 GW pembangkit energi terbarukan. 

"Saat itu dimulai, hentikan pembangunan  Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara baru dan pensiunkan PLTGU lebih awal," kata Manager Program Transformasi Energi IESR, Deon Arinaldo, saat menjadi pembicara pada diskusi daring bertemakan "Indonesia Mampu Mencapai Netral Karbon Sebelum 2070", kemarin.

Gawe ini ditaja oleh IESR, Madani Berkelanjutan, ICLEI-Local Governments for Sustainability Indonesia (ICLEI Indonesia), WALHI, dan Thamrin School.    

Dan kalau pemerintah mau kata Deon, berbagai pemodelan global untuk mencapai target  "Persetujuan Paris" bisa dilakukan dengan membuat bauran batubara pada pembangkit berada di sekitar 5%-10% pada tahun 2030. 

Begitu juga dengan bahan bakar transportasi, bauran bahan bakar bersihnya bisa dibikin di angka 20%-25% pada tahun 2030. 

Di sektor kehutanan, Indonesia harus menargetkan kuota deforestasi yang lebih rendah dalam Updated
Nationally Determined Contribution (NDC), atau sebisa mungkin, nol. 

"Soalnya sisa kuota deforestasi hingga 2030 bisa dibilang sudah habis di dekade lalu," kata Manajer Pengelolaan Pengetahuan Yayasan Madani Berkelanjutan, Anggalia Putri.

Kebijakan penghentian pemberian izin baru pada hutan alam yang tersisa kata Anggalia, akan membantu Indonesia menekan deforestasi.

Pada perhitungan awal Madani kata Anggalia, ada sekitar 9,4 juta ha hutan alam di luar konsesi, daerah alokasi perhutanan sosial (PIAPS), dan Peta Indikatif Penghentian Pemberian Izin Baru (PIPPIB) yang harus segera dilindungi dari pemberian izin baru. 

Lalu, melindungi hutan alam yang terlanjur berada di dalam izin dan konsesi juga akan membantu memastikan capaian komitmen iklim Indonesia di sektor kehutanan.

Melindungi ekosistem gambut secara menyeluruh, mendorong realisasi target restorasi gambut yang sudah ada, dan memperluas pelaksanaan restorasi gambut ke area yang terbakar pada kebakaran hebat tahun 2019 juga bisa membantu sektor hutan dan lahan menjadi net sink pada 2030. 

"Sekitar 498.500 ha ekosistem gambut yang  terbakar dua tahun lalu, belum masuk sebagai target restorasi gambut 2016-2020. Mestinya ini dimasukkan, baik yang ada di dalam maupun di luar konsesi, harus masuk ke dalam target restorasi gambut 2021-2024 biar kebakaran tidak berulang," ujarnya.

Hanya saja, ambisi Indonesia untuk mencapai netral karbon (net zero emission) pada tahun 2050 justru nampak lemah. 

Ini kelihatan dalam dokumen Strategi Jangka Panjang Penurunan Emisi Karbon dan Ketahanan Iklim 2050 (Long-Term Strategy on Low Carbon and Climate Resilience 2050, LTS-LCCR 2050) yang disusun oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). 

Di dokumen itu disebutkan bahwa untuk menjaga supaya suhu bumi tidak naik melebihi 1,5?,
pemerintah menargetkan netral karbon tahun 2070. Target ini terlambat 20 tahun dari target yang ditentukan dalam Persetujuan Paris.

Manajer Kampanye Keadilan Iklim, WALHI, Yuyun Harmono menilai, keterlambatan itu bakal merugikan banyak negara berkembang. 

Apalagi kalau perdagangan karbon dan carbon capture yang dipilih menjadi salah satu cara untuk mencapai "net zero".

Lantas, dari 5 sektor penyumbang emisi yang menjadi fokus NDC, hanya sektor kehutanan dan lahan lainnya Food and Land Use (FOLU) yang akan mencapai net sink pada tahun 2030. 

Sementara sektor energi sendiri baru akan mengalami puncak emisi tertinggi (peaking) pada tahun 2030.

Di sektor kehutanan, skenario paling ambisius (LCCP) menargetkan laju deforestasi hutan alam tahun 2010-2030 sebesar 241 ribu ha per tahun dan 2031-2050 sebesar 99 ribu ha per tahun. 

Ini berarti, Indonesia masih membenarkan konversi hutan alam sekitar 7 juta ha atau lebih dari 12x Pulau Bali pada periode 2010-2050. 

Tapi lantaran Indonesia sudah kehilangan sekitar 4,9 juta ha hutan alam pada 2010-2020, kuota deforestasi hutan alam Indonesia selama 30 tahun ke depan hanya tinggal sekitar 2 juta ha atau 71 ribu ha per tahun.

Banyak yang kemudian ragu dengan angka 71 ribu ha per tahun itu. Sebab data Madani sendiri menyebut bahwa 140 juta hektar lahan Indonesia, sudah dikuasai (dikapling) oleh korporasi. Ini persis sama dengan data Forest Watch Indonesia (FWI) yang menyebut bahwa hingga tahun 2017, 71,2 juta hektar daratan Indonesia sudah jadi kaplingan 4 jenis korporasi --- sawit, HPHTI, HPH dan tambang. Sekitar 32 juta hektar kaplingan itu masih bertutupan hutan bagus.  


 

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Komentar Via Facebook :