https://www.elaeis.co

Berita / Nasional /

India Naikkan Bea Impor Minyak Nabati, Begini Respon GAPKI

India Naikkan Bea Impor Minyak Nabati,  Begini Respon GAPKI

Para pembicara di Sesi 4 IPOC 2024. Foto: Taufik Alwie


 

Nusa Dua, elaeis.co - Kebijakan India yang secara signifikan menaikkan kembali bea impor minyak nabati mentah dan olahan sebesar 20 poin persentase,  praktis  akan berdampak menurunkan volume ekspor negara-negara penghasil minyak nabati ke negeri tersebut.

Indonesia yang menjadikan India sebagai salah satu negara tujuan ekspor minyak sawit terbesar (19% dari total ekspor), diperkirakan juga akan terdampak. Namun pelaku industri kelapa sawit di negeri ini tidak memandangnya sebagai suatu hal yang terlalu mengkhawatirkan.

Pasalnya, sudah kebiasaan India menaikkan dan menurunkan bea impor minyak nabati, sesuai kondisi dan kebutuhan di dalam negeri.

Artinya, bea impor yang naik siginifikan dan berlaku September 2024 itu sifatnya sementara, sewaktu-waktu akan diturunkan lagi. Tercatat, India pernah menaikkan bea impor hingga 37,5% pada Mei 2021.

Kira-kira begitulah salah satu butir penting yang bisa ditarik dari Sesi 4 Indonesian Palm Oli Conference (IPOC) 2024 yang berlangsung di Nusa Dua, Bali, pada hari kedua, Jumat, 8 November 2024.

Sesi 4 yang dipandu dengan baik oleh Kepala Departemen Luar Negeri GAPKI Fadhil Hasan ini menampilkan lima pembicara. Yaitu, Julian Mc Gill (Glenauk Economics), Thomas Mielke (ISTA Mielke Gmbh), Joko Supriyono (GAPKI), Nagaraj Meda (Transgraph), dan Dorab Mistry (Godrej International).

Sesuai temanya, dalam sesi yang dipandu Alisa Uryupina, dosen di Universitas Mgimo, Moskow, Rusia, itu para pembicara banyak membahas seputar prospek ekonomi dan tren pasar minyak nabati.

Ada pun Joko Supriyono bicara soal upaya menjaga daya saing industri kelapa sawit Indonesia di pasar minyak nabati dunia. Upaya itu, antara lain, dengan menaikkan dana PSR guna mendorong percepatannya, serta menurunkan Pungutan Ekspor.

Turunnya pungutan ekspor ini secara langsung berdampak meningkatkan daya saing. Namun daya saing ini masih akan cukup berat untuk menembus pasar ekspor ke negara yang melakukan proteksi dengan cara menaikkan bea impor.

Seperti India, yang menetapkan bea impor sebesar 27,5%. India menerapkan kebijakan itu sebagai upaya untuk, antara lain, mendukung petani lokal dan menstabilkan pasar biji minyak di sana yang harganya terus merosot.

Kondisi inilah yang sempat memantik diskusi tersebut, karena menyangkut prospek besaran ekspor sawit Indonesia ke negeri itu. Terlebih, sebelum bea impornya membengkak pun, ekspor minyak sawit Indonesia ke India menurun cukup tajam.

Setidaknya itu tercermin dari data GAPKI yang menunjukkan bahwa  secara YoY sampai Agustus 2024 ekspor ke India turun sebesar 37,81%.

Joko pun menanggapinya dengan argumen logis, berdasarkan pengalaman pula. Meski, sayangnya, ia tidak mau memprediksi besaran potensi turunnya ekspor minyak sawit ke negeri tersebut pasca bea impor naik.

Ia hanya mengatakan bahwa langkah India menaikkan bea impor demikian tinggi tidaklah mengagetkan. “Dulu juga pernah (menaikkan bea impor), biasa India begitu. Nanti juga diturunkan lagi,” kata Joko.

Pada kesempatan terpisah, Ketua Umum GAPKI Eddy Martono mengakui kenaikan bea impor tersebut akan mengurangi volume ekspor minyak sawit Indonesia ke sana. Ia memperkirakan untuk tahun ini, sampai Desember nanti, volume ekspor tidak akan mencapai 5 juta ton.

Namun, senada dengan Joko, Eddy optimistis kondisi itu hanya sementara. Pada saatnya nanti volume ekspor akan naik lagi seiring diturunkannya bea impor tersebut.

Apalagi, konsumsi domestik minyak nabati India mencapai sekitar 30 juta ton, tapi hanya sekitar 13 juta ton bisa dipenuhi produksi lokal. Agak genit sebetulnya, ketika hampir 60% kebutuhan minyak nabati bergantung pada impor, kok malah menaikkan bea impor sedemikian rupa.

Karena itu Eddy Martono yakin sekali India akan menaikkan kembali volume impor sawitnya.  “India tetap butuh minyak sawit, tidak bisa digantikan semua dengan minyak nabati lain. Di restoran di sana sering digunakan minyak sawit karena citarasanya yang baik,” ujar Eddy.

Potensi berkurangnya pasar ekspor minyak sawit

Pada diskusi Sesi 3 sebelumnya, di hari yang sama, salah satu benang merah yang bisa ditarik relatif masih bersinggungan dengan persoalan India sebagai negara importir minyak nabati--termasuk sawit-- yang mulai mengurangi impornya.

 

Sejumlah negara potensial importir minyak sawit juga mulai mengurangi ketergantungan akan sawit, dengan beralih ke minyak nabati lainnya seperti minyak kedelai dan minyak biji bunga matahari.

Yang menarik, beralihnya ke minyak nabati alternatif ini juga sebagai ancang-ancang menghadapi kekhawatiran akan menurunnya pasokan minyak sawit global.

Salah satunya pasokan dari Indonesia yang dikhawatirkan berkurang mengingat minyak sawit akan banyak dialihkan untuk program biodiesel B40, sementara produksi sudah stagnan di kisaran angka 50 juta ton per tahun.

Meningkatnya kekhawatiran mengenai penurunan suplai minyak sawit di pasar global telah mendorong para importir melakukan langkah-langkah antisipasi untuk mencari substitusi.

Prediksi para analis menyebutkan, ketergantungan negara-negara importir terbesar kelapa sawit yang merupakan tujuan utama ekspor Indonesia tahun depan akan sangat berkurang.

Ryan Chen, Direktur China CNF Business, Oils & Oil Seeds pada Cargil Investments (China), yang tampil  kesempatan pertama pada Sesi 3 tersebut, mengatakan ada kecenderungan pasar China beralih dari minyak sawit ke minyak nabati lain.

“Dalam pasar domestik China sekarang ini tersedia pilihan pasokan minyak nabati lain, khususnya minyak kedelai. Apalagi harganya bisa berpotensi lebih murah,” kata Chen, yang tampil bergiliran dengan lima pembicara lainnya.

⁠Mereka adalah B.V. Mehta, (Asosiasi Ekstraktor Pelarut India), ⁠Abdul Rasheed Jan Mohammad (Westbury Group), ⁠Mohamad Helmy Othman Basha (Malaysian Palm Oil Board), ⁠Alvin Tai (Analis Bloomberg), dan ⁠Alponsus Inyang (Asosiasi Produsen Kelapa Sawit Nasional Nigeria).

Chen mengatakan, tahun 2024 pemintaan minyak nabati Cina akan stagnan, setelah naik pada tahun 2023. Permintaan minyak sawit China (olein dan stearin) diperkirakan turun sekitar 30% tahun ini karena beberapa faktor, terutama menyangkut harga.

Sementara pangsa minyak sawit terhadap total permintaan minyak nabati diperkirakan menurun ke 12,8% dari sebelumnya 17,5% pada 2023. Impor minyak sawit bisa turun ke 2,3 juta  ton dari sebelumnya 4,2 juta ton pada 2023. Tahun 2025 impor olein akan stagnan di sekitar 2,3 – 2,4 juta ton.

Di pasar India dan Pakistan, permintaan diproyeksikan meningkat, namun ada kekhawatiran terhadap kemungkinan penurunan suplai minyak sawit dari Indonesia, serta kebijakan Pungutan Ekspor yang bisa menaikkan harga.

B.V. Mehta mengatakan permintaan minyak nabati akan terus meningkat, tapi produksi domestik tidak bisa menutupi seluruh  permintaan. Tercatat, kemampuan produksi lokal hanya sekitar 13 juta ton, sedangkan kebutuhan domestik mencapai sekitar 30 juta ton.

“India masih akan tergantung pada impor minyak nabati, namun kebijakan biodiesel di Indonesia telah menimbulkan kekhawatiran di pasar soal suplai sawit,” katanya.

Jika dicermati, kondisi ini bisa berakibat kurang baik bagi ekspor sawit Indonesia. Sebab, bisa saja negara-negara yang beralih ke minyak nabati non sawit itu bakal keterusan mengurangi ketergantungan akan sawit.

Sehingga, ketika produksi minyak sawit Indonesia berhasil ditingkatkan, bisa jadi kurang terserap oleh pasar global.

Untungnya, ada program mandatori biodiesel dengan bauran yang terus ditingkatkan yang akan siap menampungnya.

 

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Komentar Via Facebook :