https://www.elaeis.co

Berita / Lingkungan /

Hentikan Menyalahkan Rakyat

Hentikan Menyalahkan Rakyat

Ilustrasi - Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) di Resor Sekoci, Desa Sei Lepan, Kecamatan Besitang, Kabupaten Langkat, Sumatra Utara. Foto: Bisnis/Nanda


Jakarta, elaeis.co - Praktisi Sosio Legal dan Resolusi Konflik di AZ Law Office & Conflict Resolution Center, Ahmad Zazali, SH MH menyebutkan bahwa kawasan hutan dengan fungsi konservasi tidak luput dari perusakan. 

Mengingat, hutan produksi mayoritas telah beralih peruntukan menjadi konsesi perkebunan, hutan tanaman, pertambangan dan bentuk penguasaan lainnya. 

Konsesi tersebut mayoritas dikuasai korporasi yang telah memperoleh izin pelepasan kawasan hutan (IPKH), izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) maupun izin pemanfaatan hasil hutan kayu hutan alam/hutan tanaman (IPHHK HA/HT) secara resmi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

"Konsesi skala besar-besaran, baik yang legal maupun ilegal inilah yang telah mengubah bentang alam hutan primer maupun sekunder yang tadinya merupakan habitat alami satwa-satwa endemik dan satwa dilindungi, seperti gajah, harimau, badak, dan sebagainya," kata Zazali dalam keterangan tertulisnya yang diterima elaeis.co, Minggu (26/2).

Perubahan bentang alam yang dilegalkan, lanjutnya, juga ikut merubah pola pikir masyarakat sekitar hutan maupun yang ada dalam kawasan hutan.

"Masyarakat sekitar maupun dalam hutan juga tidak mau hanya jadi penonton konversi hutan besar-besaran, dan akhirnya tergoda untuk membuka hutan secara luas, baik secara mandiri maupun dibantu pemodal," ujarnya.

Perubahan bentang alam juga mengakibatkan habitat dan wilayah jelajah satwa dilindungi hilang, dan menyebabkan adanya serangan atau konflik wilayah-wilayah yang telah menjadi ruang kelola masyarakat lokal. 

"Untuk selamat dari ancaman serangan tersebut, masyarakat dengan terpaksa menyelamatkan asetnya dengan berbagai cara, seperti memasang jerat, meracuni atau memburunya dengan senjata tajam," tambahnya.

Terkait dengan mitigasi dan penanganan gangguan dari satwa liar, Zazali juga menyebutkan bahwa masyarakat lokal tidak bisa disamakan dengan korporasi. Apalagi kemampuan finansial masyarakat lokal yang terbatas.  

"Jadi, tidak pada tempatnya kalau ada pihak yang menyalahkan masyarakat lokal ketika ada gangguan satwa liar, seperti gajah dan harimau. Karena perubahan bentang alam besar-besaran dan masif justru dikakukan oleh pemegang izin IPKH, IPPKH maupun IPHHK HA/HT yang dikeluarkan KLHK, termasuk kegiatan usaha tanpa izin dalam kawasan hutan yang jumlahnya mencapai 3,3 juta hektare yang saat ini dalam proses pengampunan dengan pembayaran denda kepada KLHK berdasarkan mandat UUCK/Perpu UUCK dan PP 24 tahun 2021," ujarnya. 

"Dengan demikian, maka kerusakan hutan dan bentang alam di Indonesia merupakan problem struktural, dan tidaklah bijaksana kalau ada pihak yang membebankan kesalahan kepada masyarakat lokal," pungkasnya.

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Komentar Via Facebook :