Berita / Feature /
Tahun ke-5 Program PSR (1)
Hasrat Besar Dibalas Letoy
Peta sebaran target PSR 2020-2022. Foto: Ist
Jakarta, elaeis.co - Sebetulnya Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) ini bukan barang baru lagi, sudah menjalani tahun ke-5.
Kalau di tahun 2017 realisasi hanya 13.206 hektar dari target 20.780 hektar, masih bisa dimaklumi lah, soalnya masih barang baru.
Sebab bisa jadi Pemerintah Daerah (Pemda) yang daerahnya kebagian PSR, masih grogi soal aturan. Terus, petani yang ditawari PSR pun, masih meragu.
Maklum, para petani ini sudah tak aneh dengan program bantuan berbungkus politik, makanya masih tengak-tengok dulu.
Jika di tahun kedua realisasi hanya 35.196 hektar dari target 185 ribu hektar, juga masih bisa dimaklumi, meski sebenarnya pemakluman itu sudah mulai dibarengi jengkel.
Dan kalau di tahun ketiga yang terealisasi hanya 88.339 hektar dari target 180 ribu hektar, maka muncullah pertanyaan, ada apa dengan mu (PSR)?
Walau pertanyaan itu menggelayut, pemerintah pusat nampaknya tidak mau kendor. Yang ada malah, target PSR 2020-2022 tetap dibikin besar; 540 ribu hektar. Ini berarti 180 ribu hektar pertahun!
Sumatera dipastikan menjadi pulau yang paling banyak mendapat kucuran duit PSR itu jika dihitung berdasarkan luasan, dan lima besar provinsi paling luas mendapat alokasi PSR, juga berada di Sumatera.
Tengok saja peta wilayah sebaran beserta luasan yang sudah dibikin itu. Lima besar terluas adalah; Riau 78 ribu hektar, Jambi 74.800 hektar, Sumatera Selatan (Sumsel) 69.500 hektar, Aceh 67.500 hektar dan Sumatera Utara (Sumut) 51.500 hektar.
Kalau besaran bantuan PSR Rp30 juta perhektar, ini berarti Riau kebagian duit Rp2,34 triliun, Jambi Rp2,244 triliun, Sumsel Rp2,085 triliun, Aceh Rp2.025 triliun dan Sumut Rp1,545 triliun.
Lantaran luasan yang di Riau tadi diproyeksikan di 8 kabupaten kota, ini berarti masing-masing kabupaten kota akan diguyuri duit Rp292,500 miliar, angka itu jika pembagian luasan PSR nya dipukul rata.
Sayang, meski duit yang bakal diguyur oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) sebuncit itu dan meski PSR ini sudah tahun kelima, tetap saja kebanyakan Pemda belum tergiur.
Buktinya di sejumlah daerah, petani justru dibiarkan kelimpungan sendirian mengurus syarat-syarat yang dibutuhkan.
Kalaupun ada organisasi yang membantu petani dengan sukarela, ya paling Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) lah, yang tersebar di 134 kabupaten kota di 22 provinsi. Lalu Aspek PIR mengurusi petani plasma pula.
Di Aceh dan Sumut, sudah ada pula aturan siluman yang mewajibkan petani mengantongi rekomendasi Badan Pertanahan Nasional (BPN) maupun Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) sebagai bukti lahan petani itu tidak tumpang tindih dengan hak perusahaan atau kawasan hutan.
Dan, belum satupun Pemda yang membikin anggaran khusus demi mendukung percepatan program PSR ini. Alasan klasik yang mencuat; refocussing anggaran ulah pandemi Covid-19.
Celakanya, petani yang mengadu lantaran kebun sawitnya yang sudah uzur diklaim dalam kawasan hutan, justru cuma mendapat jawaban; mau gimana lagi...
Mirisnya, di antara cerita derita petani itu, nongol pula cerita kalau program PSR ini adalah proyek, makanya di daerah tertentu muncul bahasa kepada petani dan kontraktor yang mengerjakan PSR; "wani piro..."
Kalaulah hitung-hitungan dosen pascasarjana Univesitas Riau ini dipelototi, program PSR yang digadang-gadang Presiden Jokowi sebagai program prioritas nasional ini, justru sangat berdampak luas bagi pembangunan ekonomi daerah.
Bahkan pejabat yang kebetulan ingin maju lagi di periode berikutnya, sangat bisa menjadikan program PSR ini sebagai kendaraan politik.
"Dalam hitungan, Riau kebagian Rp2,34 triliun. Nah, selain ini, ada lagi guyuran duit dengan besaran yang sama dari fasilitas kredit bank untuk petani demi merealisasikan PSR itu. Kalau ditotal, berarti sudah ada Rp4,68 triliun duit yang berputar," urai Dr.Antony Hamzah saat berbincang dengan elaeis.co beberapa waktu lalu.
Kalau pemerintah daerah melek kata lelaki 52 tahun ini, efek domino program PSR ini dalam jangka panjang akan sangat banyak.
Melalui BUMD nya Pemerintah Daerah bisa mengelola kebutuhan sarana dan prasarana produksi petani. Salah satunya pengadaan pupuk.
"Dalam setahun, tiap batang sawit butuh 12 kilogram NPK. Kalau dalam satu hektar terisi 130 batang sawit, berarti dalam setahun butuh 1.560 kilogram pupuk," ujar ayah satu anak ini.
Jika harga pupuk non subsidi Rp5.300 perkilogram, ini berarti sudah Rp645 miliar duit yang berputar dalam setahun dari pupuk itu.
"Pemda juga bakal dapat beragam pajak. Mulai dari PBB, PPh dan PPn. dari PPn misalnya. Anggaplah hasil satu hektar kebun 30 ton setahun dengan asumsi harga jual Rp1000 perkilogram. Ini berarti sudah Rp3 juta PPn yang didapat dari kebun satu hektar per tahun. Kalikan saja dengan 78 ribu hektar, sudah Rp234 miliar setahun," Antony merinci.
Dengan lahan seluas itu kata Antony Pemda juga sudah bisa membangun Pabrik Kelapa Sawit (PKS) dengan pengelolaan profesional.
"Duit membangun PKS itu bisa didapat dari peserta PSR. Tiap hektar diminta menyertakan modal Rp5 juta yang dimasukkan dalam kredit dana pendamping tadi," katanya.
Kalau misalnya di satu daerah itu PSR nya 20 ribu hektar, duit yang terkumpul sudah Rp100 miliar. Kekurangannya dari BUMD. Dari sini petani akan bisa dapat manfaat ganda, harga tinggi dan deviden dari keuntungan PSK dapat pula.
"Pemda bisa membuka pasar tenaga kerja langsung untuk PKS dan tidak langsung untuk angkutan TBS," Antony mengurai.
Lantaran program PSR adalah mewujudkan produk CPO yang ramah lingkungan --- wajib ikuti Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO), ini berarti Pemda sudah ikut pula berperan menjaga lingkungan dan secara jangka panjang ada jaminan pasar ekspor yang akan berdampak nilai tambah
pada CPO.
"Kebun rakyat yang tak bisa ikut PSR kan masih banyak ini, Pemda bisa mengajukan tawaran bagi hasil dana pungut pajak ke pemerintah pusat. Duit itu dipakai sebagai bentuk penyertaan modal pemerintah pusat pada BUMD. Duit itu jadi dana abadi PSR yang dikelola BUMD untuk replanting berikutnya kalau program PSR sudah tak ada lagi," katanya.
Apa yang dibilang Antony ini tentu tidak hanya berlaku di Riau, tapi minimal di lima besar provinsi penerima alokasi PSR terbanyak tadi. Gimana Pemda, masih belum ngiler juga...?







Komentar Via Facebook :