https://www.elaeis.co

Berita / Lingkungan /

Harmoni Sawit dan Orangutan dalam Lensa Dokumenter Sineas Denmark

Harmoni Sawit dan Orangutan dalam Lensa Dokumenter Sineas Denmark

Flyer film Palm Oil in the Land of Orangutans. Dok IPOSS


Jakarta, elaeis.co -- Di tengah perdebatan global tentang keberlanjutan industri kelapa sawit—yang sering kali terjebak antara manfaat ekonomi dan tudingan merusak lingkungan—sebuah film dokumenter dari Eropa muncul dengan perspektif yang menyegarkan. Berjudul Palm Oil in the Land of Orangutans, karya sineas Denmark bernama Dan Sall ini bukan hanya sekadar rekaman visual, melainkan jembatan yang menghubungkan narasi konflik dengan kisah koeksistensi yang harmonis.

Film dokumenter yang diproduksi  Copenhagen Film Company ini dinilai mampu membalikkan pandangan negatif sebagian masyarakat Eropa yang menganggap sawit tidak ramah lingkungan.   Film yang akan diputar di Hollywood XXI Jakarta pada Jumat, 17 Oktober 2025, ini merupakan prakarsa KBRI di Kopenhagen bersama Copenhagen Zoo serta Indonesia Palm Oil Strategic Studies (IPOSS), dan didukung penuh oleh Kementerian Luar Negeri RI.

Koeksistensi yang jarang terungkap

Selama ini, perdebatan seputar sawit dan lingkungan selalu diwarnai kontradiksi: di satu sisi sawit adalah penyumbang devisa dan penyerapan tenaga kerja signifikan, namun di sisi lain muncul persepsi negatif tentang deforestasi dan keberlangsungan satwa liar, terutama orangutan (Pongo pygmaeus).

Nah, film berdurasi 72 menit ini menawarkan sudut pandang berbeda, menggambarkan bagaimana perkebunan sawit dapat berinteraksi positif dengan lingkungan, khususnya habitat orangutan. Hasil kolaborasi antara Kebun Binatang Kopenhagen (Copenhagen Zoo) dan United Plantation  milik perusahaan Denmark, film ini merekam rеаlitas selama delapan tahun (2015-2023) di kawasan Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah.

Film ini fokus pada proyek rehabilitasi hutan dan pengamatan biodiversitas dalam "hutan koridor" seluas 318 hektar  yang menghubungkan perkebunan sawit dengan hutan lindung. Hasilnya, seperti tergambar dalam film tersebut, orangutan dapat hidup dan berkembang biak di perkebunan sawit, bersama dengan berbagai spesies lain seperti serangga, ular, dan burung. Temuan ini mematahkan anggapan bahwa produksi minyak kelapa sawit selalu berdampak negatif terhadap ekosistem.

Temuan ini secara tegas  pula menggarisbawahi bahwa produksi minyak kelapa sawit sejatinya dapat dilakukan tanpa mengganggu ekosistem flora dan fauna. Film ini seolah menjadi pembalikan narasi, menyoroti potensi sawit yang dapat hidup berdampingan dengan konservasi lingkungan dan satwa liar, serta menggambarkan keberhasilan proyek koridor hutan dalam meningkatkan populasi aneka spesies.

"Film ini penting sebagai media edukasi publik yang objektif, sekaligus sebagai pintu masuk untuk diskusi kritis yang konstruktif," ujar M. Aji Surya, Ketua Divisi Komunikasi IPOSS, dalam perbincangan dengan elaeis.co, Senin pagi, 13 Oktober 2025, menyongsong rencana pemutaran film tersebut.

Aji memaparkan, temuan tersebut telah memantik banyak diskusi baik di Eropa maupun berbagai wilayah lain. Ada yang menerima dengan baik, ada pula yang tetap kontra. Maklumlah, film tersebut seolah menggarisbawahi potensi produksi sawit yang bisa hidup berdampingan dengan konservasi lingkungan dan wildlife, sebuah perspektif yang tidak biasa terhadap industri kelapa sawit.

Untuk membedah isu yang disajikan, usai pemutaran film akan dilanjutkan dengan diskusi mendalam yang menghadirkan ahli konservasi dan lingkungan. Mereka adalah Carl Traeholt, Ph.D. (International Project Development Manager, Copenhagen Zoo), Simon Bruslund (Director of Global Development, Copenhagen Zoo), serta Petrus Gunarso, Ph.D. (pakar Kehutanan dan lingkungan dari Indonesia).  

Bagi Indonesia, kegiatan ini memiliki makna strategis, yakni untuk menunjukkan keterbukaan dalam membicarakan isu sawit secara ilmiah dan berimbang, serta mengedukasi publik agar memahami kompleksitas hubungan antara ekonomi, lingkungan, dan pembangunan berkelanjutan. Kegiatan ini juga memperkuat diplomasi hijau antara Indonesia dan Denmark.

Dengan demikian, pemutaran film ini bukan sekadar acara hiburan, tetapi sebuah forum dialog yang membuka wawasan, menghubungkan perspektif, dan mendorong lahirnya solusi bersama untuk masa depan yang lebih berkelanjutan.

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Komentar Via Facebook :