Berita / Nusantara /
HAPSARI Dorong Kesetaraan Gender di Komunitas Petani Sawit
Seorang ibu sedang merawat tanaman sawit. foto: ist.
Jakarta, elaeis.co – Perjuangan perempuan di perkebunan kelapa sawit sering terabaikan. Mereka menjalani 'kerja tak terlihat' atau invisible labor, yakni mendukung banyak jenis pekerjaan tanpa diakui sebagai pekerjaan yang produktif.
Hal inilah yang ingin diubah melalui program pelatihan yang digagas oleh Himpunan Serikat Perempuan Indonesia (HAPSARI) bersama SNV dalam proyek HORAS Hub di Sumatera Utara.
Laili Zailani, pendiri HAPSARI, mengungkapkan bahwa selama ini perempuan di komunitas petani sawit sering kali terpinggirkan dalam pengambilan keputusan dan pengelolaan ekonomi rumah tangga. “Sebagai istri petani, mereka tidak hanya bekerja di kebun, tetapi juga menjaga anak, mengurus rumah, dan memutuskan pengeluaran rumah tangga. Semua tanpa pengakuan atau upah,” jelas Laili dalam keterangannya dikutip Selasa (22/4).
Salah satu pendekatan yang dilakukan HAPSARI adalah melalui pelatihan Gender Equality and Social Inclusion (GESI) dan Dialog Rumah Tangga. Program ini bertujuan untuk membuka ruang bagi perempuan dan laki-laki dalam komunitas petani sawit untuk duduk bersama dan berdiskusi tentang pembagian kerja rumah tangga, termasuk siapa yang bertanggung jawab mengatur ekonomi keluarga dan siapa yang melakukan pekerjaan domestik.
Melalui dialog yang dimulai dengan pertanyaan sederhana seperti “Siapa yang mengatur ekonomi rumah tangga?” atau “Siapa yang mencuci piring saat istri membersihkan kebun?”, para petani sawit mulai merenung dan menyadari bahwa kesetaraan dalam rumah tangga bukanlah hal yang mustahil.
Salah satu tantangan besar dalam upaya mencapai kesetaraan gender di komunitas petani sawit adalah norma sosial yang menempatkan perempuan pada posisi subordinat. Dalam banyak kasus, pria di komunitas ini masih membawa beban maskulinitas hegemonik, yaitu keyakinan bahwa laki-laki harus dominan dalam setiap aspek kehidupan keluarga dan masyarakat.
Namun, dalam program Dialog Rumah Tangga yang digagas oleh HAPSARI, perubahan mulai terasa. Petani laki-laki yang sebelumnya enggan terlibat dalam pekerjaan rumah tangga kini mulai memahami bahwa tanggung jawab dalam keluarga harus dibagi bersama.
Proses ini juga menjadi bentuk pembebasan bagi laki-laki, yang tidak hanya mendobrak norma patriarkal yang menindas perempuan, tetapi juga membuka ruang bagi laki-laki untuk lebih emosional dan terlibat dalam kehidupan rumah tangga mereka.
Ibu-ibu petani sawit mulai berani bersuara dalam rapat desa, dan laki-laki tidak lagi segan membantu pekerjaan rumah tangga, bahkan sebelumnya menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga, dengan mata berbinar penuh harapan.
Program ini membuktikan bahwa kesetaraan gender bukan hanya masalah besar yang harus diselesaikan lewat kebijakan atau undang-undang, tetapi juga dimulai dari tindakan kecil yang terjadi dalam rumah tangga sehari-hari. Dari sini, perempuan di komunitas petani sawit mulai mendapatkan pengakuan dan penghargaan atas kontribusinya yang selama ini tersembunyi.
Dengan dukungan program seperti ini, diharapkan lebih banyak perempuan petani sawit yang bisa merasakan dampak perubahan dan berani memperjuangkan hak-haknya dalam keluarga dan masyarakat.







Komentar Via Facebook :