https://www.elaeis.co

Berita / Nasional /

Hak Rakyat Diabaikan, Hukum Agraria Jadi Senjata Penguasaan Tanah

Hak Rakyat Diabaikan, Hukum Agraria Jadi Senjata Penguasaan Tanah

Pakar agraria Grahad Nagara menegaskan, hak rakyat atas tanah kerap diabaikan.


Jakarta, elaeis.co – Ketika negara mencatat tanah sebagai miliknya, masyarakat yang telah tinggal turun-temurun di wilayah tersebut kerap tersisih. Hukum, yang seharusnya menjadi pelindung, kini justru menjadi pagar yang membatasi rakyat dari hak paling dasar: tempat hidup mereka sendiri.

Grahad Nagara, Dosen Hukum Agraria di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera sekaligus Senior Associate di Woods & Wayside Internasional, menyoroti fenomena yang ia sebut “keterlanjuran”. 

Istilah ini menggambarkan kawasan hutan yang dihuni masyarakat sejak lama, tapi secara hukum dicatat sebagai milik negara.

"Banyak desa yang hidup turun-temurun di kawasan itu, tapi dalam kacamata regulasi dianggap tidak sah. Masyarakat ditempatkan seolah sebagai pendatang di tanahnya sendiri," ungkap Grahad dalam diskusi online bertajuk hukum agraria. 

Menurut Grahad, persoalan ini tak lepas dari cara negara membaca hukum. Upaya memisahkan masyarakat dari tanahnya berlangsung bertahap mulai dari pembiaran, masyarakat tinggal tanpa status hukum jelas; penyangkalan aktif, hak-hak mereka ditolak secara halus melalui instrumen hukum yang tampak netral; hingga kriminalisasi, aktivitas warga di tanah mereka sendiri bisa dipersoalkan dan dianggap melanggar hukum.

"Proses ini menciptakan narasi tunggal: tanah adalah milik negara, rakyat hanya menumpang. Padahal konstitusi menegaskan, penguasaan negara seharusnya untuk melindungi kepentingan rakyat. Ketika tafsir itu dipersempit, hukum agraria berubah menjadi instrumen kuasa, bukan keadilan," tegasnya.

Kondisi makin parah karena lemahnya kodifikasi hukum yang berpihak pada masyarakat. Pendaftaran tanah, sertifikasi, dan mekanisme legal lainnya sering lebih menguntungkan kepentingan negara dan investor dibanding rakyat yang telah lama tinggal di lahan tersebut. 

Grahat menambahkan bahwa hak-hak masyarakat hampir tidak terdengar. Formalitas hukum lebih diutamakan ketimbang kenyataan di lapangan.

Fenomena ini bukan sekadar teori. Di lapangan, banyak warga yang kehilangan akses ke sumber mata pencaharian, dipaksa meninggalkan tanah, atau bahkan menghadapi proses hukum atas lahan yang telah mereka garap selama puluhan tahun.

Pakar agraria itu menekankan pentingnya reformasi hukum agraria yang benar-benar berpihak pada rakyat. Tanah bukan sekadar instrumen kepentingan negara, tapi ruang hidup masyarakat yang harus dijaga keberlanjutannya. Tanpa perubahan signifikan, hukum agraria akan terus menjadi senjata penguasaan tanah, dan hak rakyat tetap diabaikan.

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Komentar Via Facebook :