Berita / Nusantara /
Guru Besar IPB: Bukan Tanaman, Tapi Hak Atas Tanah. Itu!
Guru besar IPB, Prof. Budi Mulyanto. foto: aziz
Bogor, elaeis.co - Budi Mulyanto tak mempersoalkan jika kemudian ada orang yang menggiring kelapa sawit menjadi tanaman hutan.
Sebab memang, selama ini sawit tidak termasuk tanaman yang legal di kawasan hutan. Lantaran tidak legal itu pula, makanya tidak memberikan ruang pengembangan ekonomi bagi pelaku sawit.
Dan upaya penggiringan itu kata lelaki 65 tahun ini adalah langkah kompromistis. "Baik atau buruk, menurut saya baik-baik saja sepanjang semuanya jelas," Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) ini mengingatkan saat berbincang dengan elaeis.co di kawasan jalan Pajajaran, Bogor, Jawa Barat.
Begitu sawit menjadi tanaman hutan kata Budi, maka menjadi legal lah tanaman itu di kawasan hutan. Hanya saja persoalan yang muncul kemudian, apakah tanah yang ditumbuhi sawit itu akan menjadi hak milik?
Baca juga: Jurus Mabuk Otoritas Hutan
"Masih mending kalau hanya hak pakai, yang saya khawatirkan justru, masyarakat disuruh menyewa. Masak tanahnya sendiri disuruh sewa?" Budi menyodorkan kekhawatiran pertama.
Kekhawatiran kedua, "Saya ingin meng-highligt bahwa ketika sawit 'halal' di kawasan hutan dan tanah masyarakat masih terklaim dalam kawasan hutan, maka saat otoritas kehutanan memberikan izin kepada perusahaan, bukan tidak mungkin tanah-tanah masyarakat kemudian terdelinisiasi. "Kalau sudah begini, gimana menyelesaikan?" Budi bertanya.
Sesungguhnya kata Budi, bahwa persoalan yang ada sekarang adalah persoalan tanah. Tidak ada kaitannya dengan apa yang ditanam di atas tanah itu.
Ini murni masalah hak kepemilikan atas tanah. Jangan tumbalkan salah satu komoditi untuk melegitimasi klaim kawasan hutan tadi.
Kawasan hutan dan tidak kawasan hutan kata Budi, sah-sah saja ada, tapi harus dideliniasi menurut tata aturan yang benar. Tata aturan yang benar itu, batas-batas harus disetujui oleh pihak yang berbatas (kontradiktur delimitasi).
Yang menjadi masalah besarnya sekarang kata Budi justru, saat membatasi kawasan hutan, yang dibatasi hanya batas luar, tidak termasuk batas dalam.
"Apa yang dimaksud denggan tata batas? Membuat batas, garis yang disetujui para pihak yang berbatas. Kalau batas ditentukan oleh sepihak, itu namanya klaim," ujar Budi.
Nah, yang dikhawatirkan Budi justru, kawasan hutan yang ada sekarang, penetapannya klaim, bukan tata batas. "Pada saat membatasi luar, ingat, di dalam itu banyak tanah masyarakat. Tanah masyarakat itu misalnya transmigrasi, itu proyek pemerintah lho. Masak sesama pemerintah enggak dianggap," katanya.
Masyarakat, mereka bertani, berkebun, masak itu masuk dalam kawasan hutan dan kemudian menjadi orang yang dianggap ilegal.
Sebelum NKRI ada, nenek moyangnya sudah ada di situ. Masih banyak tanah yang statusnya kayak begitu. Itu harus dikeluarkan secara otomatis. Batasnya dikompromikan, dimana batasnya. Bukan malah diklaim kawasan hutan.
"Saat negara enggak menyelesaikan ini dengan segera, maka akan terus menerus seperti itu. Akibatnya, situasi sosial dan politik kita tidak akan pernah stabil," ujarnya.
Lagi-lagi kata Budi, persoalan pokok atas kawasan hutan itu sebenarnya bukan masalah tanaman yang ada di atas tanah yang diklaim kawasan hutan itu, tapi hak atas tanah.
"Isu pentingnya hak atas tanah, penguasaan tanah. Bukan urusan tanaman. Jangan digeser-geser. Tanaman bukan isu penting," katanya.
Lantaran isu pentingnya adalah hak atas tanah, maka selesaikan dulu siapa pemilik sah atas tanah itu, apakah negara, atau rakyat. Lalu sepakati batas-batasnya. Soal tanaman, itu soal land use, tata ruang. Digunakan apa tanah itu, itu teknis," tegasnya.







Komentar Via Facebook :