Berita / Nusantara /
Gugatan Dua Perusahaan Sawit Ditolak PTUN Jakarta, tapi Perjuangan Suku Awyu Belum Usai
Gregorius Yame, masyarakat asli Papua Suku Awyu (kiri) saat menghadiri sidang kasus pencabutan izin kawasan hutan di PTUN Jakarta. foto: Muhammad Adimaja / Greenpeace
Jakarta, elaeis.co - Gugatan dua perusahaan sawit, PT Megakarya Jaya Raya (MJR) dan PT Kartika Cipta Pratama (KCP), terhadap Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) ditolak Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.
Putusan ini menyelamatkan 65.415 hektare hutan hujan asli dari konsesi PT MJR dan PT KCP di wilayah adat Suku Awyu, Papua Selatan. Kedua perusahaan tidak boleh melakukan deforestasi dalam area tersebut dan hanya boleh menjalankan bisnis di 8.828 hektare lahan hutan milik masyarakat adat yang telah dibuka oleh pemegang kedua konsesi.
Gugatan muncul karena Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar mengeluarkan Surat Keputusan Nomor SK.1150/MENLHK.SETJEN/PLA.2/11/2022 dan SK.1157/MENLHK.SETJEN/PLA.2/11/2022, tertanggal 14 November 2022, tentang Penertiban dan Penataan Pemegang Pelepasan Kawasan Hutan, masing-masing mengatasnamakan PT Megakarya Jaya Raya dan PT Kartika Cipta Pratama. Perusahaan tersebut memperkarakan putusan Menteri LHK terkait antara lain penetapan komitmen tambahan yang wajib dipenuhi seperti tidak melakukan pembukaan lahan berhutan di dalam areal pelepasannya untuk kegiatan perkebunan kelapa sawit. Putusan ini dianggap merugikan perusahaan.
PT MJR dan PT KCP mendaftarkan gugatannya ke PTUN Jakarta pada 10 Maret dan 15 Maret lalu.
Dalam perkara ini, masyarakat Suku Awyu menjadi pihak tergugat intervensi.
"Menolak gugatan penggugat dan penggugat II intervensi untuk seluruhnya," demikian bunyi putusan PTUN Jakarta yang diumumkan lewat sistem e-court Mahkamah Agung, Selasa 5 September 2023.
Putusan ini disambut gembira para pejuang lingkungan hidup sekaligus pemilik tanah adat dari Suku Awyu.
“Ini putusan yang kami tunggu-tunggu. Cukup sudah, perusahaan jangan ganggu hutan dan tanah adat. Patuhi putusan ini dan biarkan kami rawat sendiri tanah adat kami. Semoga dengan gugatan ini, KLHK tahu kalau perusahaan tak ada niat baik dan segera cabut sepenuhnya izin PT MJR dan PT KCP. Harapannya kami bisa dapatkan hutan adat lagi, biar bisa kami kelola untuk anak cucu Suku Awyu,” kata Gergorius Yame, salah satu dari enam masyarakat Awyu yang menjadi tergugat intervensi dalam perkara tersebut, dalam keterangan tertulis, kemarin.
Gergorius Yame dan lima orang masyarakat adat Awyu mengajukan diri sebagai tergugat intervensi untuk mendukung Menteri LHK menghadapi gugatan PT MJR dan PT KCP.
“Suku Awyu berdiri bersama pemerintah. Sekarang saatnya bagi Menteri LHK mempercepat pengakuan hak atas tanah adat suku Awyu. Masyarakat adat Awyu berhak untuk melindungi dan mengelola hutan adat mereka sendiri, demi penghidupan sehari-hari dan masa depan mereka,” kata Sekar Banjaran Aji, anggota tim kuasa hukum masyarakat Awyu.
Permohonan intervensi tersebut merupakan bagian dari perjuangan masyarakat suku Awyu untuk mempertahankan hutan adat mereka dari perampasan oleh perusahaan kelapa sawit. Selain di PTUN Jakarta, upaya litigasi untuk mempertahankan hutan adat juga ditempuh masyarakat Awyu di PTUN Jayapura.
Pada 13 Maret lalu, Hendrikus ‘Franky’ Woro, pejuang lingkungan hidup dan pemimpin marga Woro–bagian dari suku Awyu, menggugat izin kelayakan lingkungan hidup yang dikeluarkan Pemprov Papua untuk perusahaan sawit lainnya, PT Indo Asiana Lestari. Persidangan gugatan tersebut masih berjalan hingga kini.
“Jarang sekali kami dapat berita baik, jadi kami berharap masih bisa dapat kabar baik dari gugatan lingkungan hidup dan perubahan iklim di Jayapura. Semoga di PTUN Jayapura menang lagi,” kata Hendrikus Woro.







Komentar Via Facebook :