Berita / Feature /
GM: Presiden RI Hanya Satu, Jangan Berhalu Apalagi Bikin Gaduh!
Ketua Umum DPP Apkasindo, Dr. Gulat Medali Emas Manurung saat berada di komplek Fakultas Kehutanan IPB. foto: ist
Jakarta, elaeis.co - Walau hanya Ketua Umum petani sawit bernama Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), lelaki ini bergelar doktor lho.
Gelar yang baru saja digondol dari Universitas Riau (UR) itu dipastikan tak kaleng-kaleng. Sebab, masa kuliah lelaki 48 tahun itu cuma 25 bulan; pastinya 2 tahun 4 hari.
Ini menjadi yang tercepat sepanjang sejarah program doktoral di UR dan ujian Promosinyapun disaksikan oleh 22 Provinsi Apkasindo secara virtual, "harap-harap cemas jugalah, hehehe," katanya.
Saat ujian, para pengujinya tak sembarangan. Salah satunya Prof. Bungaran Saragih, yang mantan menteri pertanian itu.
Sudahlah cepat kelar, nilai akademiknya yang dilabeli cumlaude itu (IPK 3,98), berbungkus novelty (penemuan baru) yang sangat dibutuhkan 3,4 juta hektar kebun kelapa sawit pula.
Dengan raihan seperti itu, tentu jangan pandang sebelah mata apa yang sebentar lagi akan dia bilang, apalagi menyangkut perkelapasawitan tadi.
Kemarin, sebelum terbang ke Jakarta dari Pekanbaru, Gulat Medali Emas Manurung berusaha menyempatkan diri ngobrol dengan elaeis.co.
Topiknya soal perpanjangan moratorium perizinan baru perkebunan kelapa sawit dan nasib kebun kelapa sawit yang sudah ada (eksisting).
Bagi ayah dua anak ini, kalau pemerintah akan memperpanjang moratorium yang sudah berakhir 10 hari lalu itu, enggak jadi soal, "Silahkan, kami juga sudah mengkaji dan segera kami umumkan hasil kajian Tim Pakar DPP Apkasindo, sampelnya mencakup 22 provinsi," ujarnya.
Secara luasan, 16,38 juta hektar kebun kelapa sawit yang sudah ada, agaknya sudah cukup. "Itu kalau kita tengok dari luasnya saja," kata lelaki yang karib disapa GM ini.
Tapi kalau dari kondisi dan produksinya, tunggu dulu. "Saat ini produktivitas kelapa sawit, khususnya petani kita, masih tergolong rendah. Lantaran itu, secara total, produksi kebun sawit Indonesia masih hanya sekitar 50 juta ton minyak sawit pertahun. Lalu, secara legalitas, banyak yang 'dibikin' bermasalah. Ada sekitar 3,4 juta hektar yang dicaplok kawasan hutan," Ketua Bravo 5 Riau ini mengurai.
Kalau ditengok dari sisi kebutuhan berbanding produksi sebanyak tadi kata Auditor Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) ini, masih sangat tidak cukup.
Sebab lambat laun permintaan minyak sawit dunia makin tinggi. Dunia semakin ketergantungan dengan minyak sawit. Di dalam negeri, kebutuhan untuk bauran solar yang disebut dengan Biodiesel juga makin meningkat.
"Dengan bauran 30% atau B30 saja, kita butuh 9,2 juta ton minyak sawit per tahun. Untuk kebutuhan dalam negeri sekitar 13 juta ton. Ini berarti sudah hampir 23 juta ton. Belum lagi untuk membikin produk oleo. Nah, kalau B30 naik menjadi B40, kebutuhan akan bertambah lagi, otomatis ekspor dikurangi. Di sinilah masalah itu muncul," katanya.
Dibilang masalah, lantaran selama ini, pundi-pundi negara dihujani devisa ekspor yang tahun ini berpotensi mencapai Rp400 Triliun.
"Biodiesel memang mengurangi pemasukan negara, tapi justru menaikkan harga Tandan Buah Segar (TBS) petani dan mengurangi pemakaian solar murni. Dulu sebelum mandatori B30, harga TBS hanya Rp1000 an, tapi setelahnya, harga meroket," GM mengurai.
Jadi, kalau dua kondisi ini terbiarkan lalu dengan seenaknya memperpanjang moratorium, maka akan ada yang dikorban.
"Kalau ekspor diperbanyak, otomatis yang jadi korban adalah biodiesel dan petani. Soalnya, kalau biodiesel tak ada, harga TBS petani akan terjun bebas. Tapi kalau ekspor dikurangi, pemasukan negara berkurang. Jadinya simalaka," katanya.
Nah, solusi satu-satunya kata GM adalah, cabut semua klaim kawasan hutan di lahan 3,4 juta hektar itu dan gencarkan strategi peningkatan produksi melalui strategi Intensifikasi Setara.
“Kalau hanya menggadang-gadangkan moratorium tanpa memberesi persoalan yang ada, itu namanya bunuh diri. Sama saja kita terperangkap dalam skenario pembenci sawit yang bergentayangan itu,” GM mengingatkan.
Soal peningkatan produksi tadi kata GM, jauh-jauh hari Presiden Jokowi sebenarnya sudah merancang program Intesifikasi Setara itu.
Itulah makanya kemudian, Jokowi meluncurkan Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) yang pembiayaannya dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Ada sekitar 540 ribu hektar yang menjadi target peremajaan hingga tahun depan.
Tapi sayang, Presiden Jokowi kata GM kayaknya enggak tahu kalau program PSR ini terseok-seok dan terancam gagal gara-gara 84% petani gagal usul.
Gagal usul lantaran kebunnya diklaim dalam kawasan hutan. "Ego sektoral bermain. Saat Kementerian Pertanian dan BPDPKS bertungkus lumus menyukseskan program PSR itu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) justru asyik berhalusinasi, menghitung denda dan PNBP di lahan yang diklaim sepihak menjadi kawasan hutan. Dari jaman nenek moyang, yang namanya lahan, ada istilah penataan batas dan kesepakatan para pihak yang berbatas. Nah, saya ingin tanya, ada enggak itu dilakukan? Jangan bikin gaduh lah," omongan GM terdengar tegas.
Seharusnya kata GM, KLHK dan Kementan paduserasi memberesi semua persoalan yang ada. Sebab PSR itu programnya Presiden.
"Indonesia ini, presidennya cuma satu, namanya Jokowi. Karena ini negara, yang ada itu visi misi presiden dan wakil presiden. Para menteri itu pembantu presiden. Jadi dia harus menyesuaikan dan ikut visi misi presiden," rutuk GM.
Sekali lagi kata GM, moratorium diperpanjang, monggo. Tapi perbaiki eksisting sawit yang ada beserta produktifitasnya.
"Kalau perbaikan itu dijalankan, maka moratorium lancar, biodiesel bersinar. Tapi kalau dua kementerian itu tak bisa paduserasi, maka nasib sawit Indonesia akan menyusul tanaman unggulan Indonesia masa silam yang sekarang cuma tercatat di museum," GM mengingatkan.







Komentar Via Facebook :