https://www.elaeis.co

Berita / Nasional /

Gen Z Ogah ke Kebun, Industri Sawit Kelabakan Cari Tenaga Muda

Gen Z Ogah ke Kebun, Industri Sawit Kelabakan Cari Tenaga Muda


Jakarta, elaeis.co – Industri sawit lagi-lagi dibuat geleng-geleng kepala. Bukan soal harga CPO, bukan soal konflik lahan, tapi perkara yang jauh lebih mendasar, tenaga kerja muda makin langka. 

Generasi Z dan milenial pelan-pelan menjauh dari dunia perkebunan, bikin perusahaan kelimpungan mencari talenta segar buat mengisi rantai produksi yang makin menua.

Fenomena itu dipaparkan langsung oleh Ketua Umum Plantation Human Capital Association (PHCA) Indonesia, Urbanus Nangoy, saat menjadi narasumber Workshop SDM Industri Perkebunan Kelapa Sawit di INSTIPER Yogyakarta, Selasa (9/12). 

Dengan nada serius, ia menegaskan bahwa sektor pertanian, termasuk sawit sedang dihantam “aging workforce” alias penuaan tenaga kerja. “Minat generasi muda turun drastis karena persepsi negatif,” ujarnya.

Data pun bicara keras:, cuma 18 persen pemuda usia 16–30 tahun yang berkecimpung di sektor pertanian pada 2022. Salah satu dampaknya, perusahaan kerap kesusahan mencari pemanen, posisi vital yang justru mulai langka.

Masalah tak berhenti di situ. Minat lulusan perguruan tinggi untuk bekerja di perkebunan juga menurun, bahkan memengaruhi intake mahasiswa kampus pertanian. Akibatnya, suplai talenta berkualitas makin seret. 

Tenaga baru yang masuk pun belum tentu bertahan lama. Banyak yang resign hanya 1–3 tahun setelah ikatan dinas karena ingin tinggal di kota, ikut pekerjaan pasangan, atau merasa budaya kerja kebun kurang cocok.

Efek domino dari kondisi itu makin terasa dengan regenerasi tersendat. Sementara jajaran eksekutif perkebunan dari generasi X sudah mendekati usia pensiun, lapisan pelapis dari kalangan milenial dan Gen Z justru tidak cukup kuat dan mentalnya belum sekuat yang dibutuhkan di lapangan.

Urbanus menegaskan kampus memang mampu mencetak ahli agronomi, tapi industri membutuhkan pemimpin lapangan, orang yang bukan hanya kuat secara teori, tapi luwes menghadapi realitas kebun. 

“IPK tinggi itu baru 30 persen dari kebutuhan sukses di lapangan,” katanya. Sisanya? Pola pikir problem solving, komunikasi, daya tahan mental, hingga manajemen konflik yang sayangnya masih minim.

Akibat gap kompetensi itu, perusahaan terpaksa melakukan retraining selama 6–12 bulan dengan biaya besar. Ironisnya, meski sudah dilatih, risiko karyawan resign tetap tinggi.

Menjawab kondisi ini, PHCA Indonesia menawarkan empat solusi sebagai peta jalan kolaboratif. Pertama, Pelatihan Pemanen Pemula bekerja sama dengan BPDP agar perusahaan bisa mendapatkan pemanen terlatih sejak awal. Kedua, Link & Match kurikulum antara kampus dan perkebunan, termasuk dosen tamu dari planters dan kursus teknologi untuk praktisi.

Ketiga, magang terstruktur enam bulan dengan mentor industri agar mahasiswa merasakan “real life” sebelum lulus, sekaligus menekan turnover karena mereka sudah tahu medan sebenarnya.

Keempat, modernisasi citra lewat teknologi seperti IoT, drone, data analytics, dan smart farming untuk menarik perhatian Gen Z bahwa kebun bukan lagi dunia “kotor”, tapi berpotensi jadi karier tech-savvy.

Industri sawit berharap resep ini bisa membalik keadaan. Tanpa tenaga muda yang siap turun ke lapangan, rantai produksi bisa terancam mandek. 

Sementara itu, generasi muda masih menimbang masa depan, apakah mereka siap kembali melirik kebun, atau tetap menjauh dari dunia yang dulu jadi tulang punggung ekonomi negeri ini.

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Komentar Via Facebook :