Berita / Bisnis /
Gawat! Produsen Pupuk BUMN 'Rampok' Petani Sawit
Ketua Umum DPP APKASINDO, Dr. Ir Gulat Medali Emas Manurung, MP.,C.APO. ist
Pekanbaru, elaeis.co - Ketua Umum DPP APKASINDO, Dr. Ir Gulat Medali Emas Manurung, MP.,C.APO, menyayangkan "pamer keuntungan" produsen pupuk, PT Pusri Palembang yang merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di tahun 2021, disaat semua petani panik karena harga pupuk melambung tinggi.
Di mana selama 2021, PT Pusri Palembang memperoleh laba hampir Rp1 triliun. Direktur Utama PT. Pusri Palembang, Tri Wahyudi Saleh, para Kamis lalu menyebutkan bahwa capaian itu tercatat meningkat dibandingkan tahun 2020, dan itu diklaim karena digitalisasi yang dilakukannya.
Menurut Gulat, keuntungan yang didapatkan PT Pusri bukanlah dari digitalisasi, melainkan dari melonjaknya harga jual pupuk yang mencapai 120 persen.
"Ini namanya merampok kami petani dengan istilah digitalisasi," kata Gulat, kepada elaeis.co, Sabtu (1/1).
Dia juga sangat menyayangkan, karena perusahaan BUMN tidak memberikan manfaat maksimal untuk petani di tengah harga pupuk yang melambung tinggi saat ini, dan justru mengambil kesempatan.
"Kami Petani sawit gak bodoh-bodoh amatlah, kami bisa berhitung. Sangat disayangkan seharusnya BUMN penjaga kestabilan harga pupuk, sesuai dengan motto nya BUMN hadir untuk negari. Semua petani saat ini, baik petani sawit, apalagi petani tanaman pangan dan hortikultura, sesak nafas dengan harga pupuk. Kami petani sawit tidak berharap dengan dengan pupuk subsidi," ujar gulat.
Gulat mengatakan bahwa saat ini banyak program pemerintah untuk petani yang terhambat akibat naiknya harga pupuk ini. Termasuk di antaranya adalah program peremajaan sawit rakyat (PSR) dan kami praktis di 2021 lalu tidak memupuk, ini sangat berbahaya.
Kenaikan harga pupuk, kata Gulat, praktis menggerus profit margin keuntungan petani. Ya karena 60% biaya produksi itu di pupuk dan tentu akan mendongkrak harga pokok produksi (HPP) hingga 40% sampai 55%.
"Dulu HPP per kilogram TBS Rp900 sampai Rp1200. Saat ini HPP sudah mencapai Rp1.400 bahkan 1.800 per kilogram TBS, dan akan naik terus. Ngilu rasanya," sebutnya.
Gulat mengatakan bahwa keuntungan petani bahkan lebih besar pada saat harga normal seperti dulu, dengan harga pupuk yang stabil. Namun sekarang, saat harga TBS tinggi justru harga pupuk menjadi jauh lebih tinggi.
"Ya untuk apa naik harga TBS, malah profit margin kami berkurang", ujarnya.
"Kami memaklumi terjadi kelangkaan bahan baku pupuk P dan K dari negara sumbernya, namun tidak untuk bahan baku pupuk Urea. Kalaupun naik, kewajaran untuk pupuk Urea ini gak lah sampai di atas 35 persen dan pupuk majemuk paling maksimum kenaikannya 50 persen. Kami sudah berhitung kok dan membandingkan dengan negara jiran," kata Gulat.
Dulu, sambungnya, harga pupuk Urea non subsidi berada di kisaran Rp 5.000/kg. Namun 8 bulan terakhir sudah mencapai Rp 10.500-11.500/kg.
"Petani mana yang tidak sesak nafas? Padahal sumber bahan baku Urea tersebut tersedia di alam Indonesia. Jadi gak ada hubungannya Urea dengan luar negeri sebab bahan bakunya ada semua didalam negeri. Bahan baku utama dalam proses produksi Urea adalah gas alam, air dan udara. Ketiga bahan baku tersebut diolah untuk menghasilkan nitrogen, hidrogen dan karbondioksida," urainya.
Dia menilai, kekacauan harga pupuk sebenernya tidak perlu terjadi di Indonesia saat ini, terutama pupuk yang bahan bakunya ada di dalam negeri.
"Itu jika BUMN memainkan peranannya untuk negeri. Ini yang terjadi malah semua BUMN pupuk malah pamer keuntungan yang melampaui target sepanjang sejarah," kata dia.
"Rumus matematisnya sederhana kok, jika naik bahan baku, maka nilai jual produk akan naik. Jadi keuntungan itu berkorelasi linier atau sama, bukan tak terhingga. Ini malah keuntungan Pusri yang naik tak terhingga disaat alasan bahan baku naik secara linier," pungkasnya.

Komentar Via Facebook :