Berita / Nusantara /
Gara-gara Penertiban Sawit, Kepala Desa di Babel Ramai-ramai Datangi Kementerian Kehutanan
Para kepala desa di Bangka Belitung berangkat ke Jakarta membahas isu penertiban sawit bersama pejabat kementerian terkait. Foto: ist.
Jakarta, elaeis.co - 46 kepala desa dari seluruh kabupaten di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang tergabung dalam Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (APDESI) mendatangi Kementerian Kehutanan di Jakarta.
Para kelapa desa ini didampingi Ketua DPRD Provinsi Bangka Belitung, Didit Srigusjaya SH MH, serta Ketua Komisi II dan III DPRD Bangka Belitung. Rombongan ini ingin bertemu langsung dengan Dirjen Planologi Kehutanan, Doni Sri Putra Shut ME.
Kedatangan para kepala desa dan legislator ini terkait dengan isu penertiban kebun sawit di dalam kawasan hutan. Kesempatan pertemuan itu dimanfaatkan untuk menyampaikan keresahan para kepala desa akan dampak penertiban ini.
Plt. Ketua DPC APDESI Belitung, Yahya SE mengungkapkan, sempat muncul ajakan aksi unjuk rasa besar-besaran di daerah akibat penertiban sawit ilegal. Untunglah langkah cepat APDESI untuk beraudiensi dengan DPRD dan pemerintah pusat berhasil meredam situasi. “Kami mendata kebun sawit yang tidak sengaja masuk kawasan hutan untuk dibawa ke pusat sebagai bahan kebijakan,” katanya dalam keterangan yang dikutip Ahad (17/8).
Dia menyayangkan regulasi yang dikeluarkan pemerintah kerap merugikan masyarakat karena tidak dibarengi sosialisasi yang tepat. “Kepala desa sering tidak dilibatkan dalam pemetaan batas kawasan hutan, sehingga warga tidak tahu batas resmi. Pergeseran peta membuat masyarakat resah dan takut berurusan dengan hukum,” jelasnya.
Sekretaris DPC APDESI Bangka Barat, Mexsi Diansah, menyoroti persoalan sertifikat lahan yang tidak bisa digunakan padahal terbit sebelum aturan kehutanan yang baru. Sedangkan Kepala Desa Astiar dari Bangka Tengah mengeluhkan minimnya pemahaman warga terkait Perpres Nomor 5 Tahun 2025 tentang penertiban kawasan hutan.
Dari Bangka Selatan, Ketua DPC APDESI Muhklis Insan mengingatkan bahwa sebagian besar desa di wilayahnya menggantungkan ekonomi pada sawit yang telah dikelola turun-temurun sejak era kolonial. “Kami tidak menolak Perpres, tapi pemasangan plang Satgas PKH membuat masyarakat khawatir,” tegasnya.
Perwakilan DPC Belitung Timur, Wasni, mengeluhkan perubahan status lahan dari HPL menjadi HP yang menghambat pembangunan infrastruktur. Sementara Tarmizi dari Bangka menyebut kebun rakyat terancam oleh penertiban di kawasan yang kini dikuasai perusahaan.
Ketua Komisi II DPRD Bangka Belitung, Taufik Rinzani, meminta regulasi penertiban sawit dapat diturunkan ke daerah agar implementasinya humanis. “Pasca-timah, perkebunan adalah tumpuan ekonomi. Masyarakat harus bisa berkebun sawit dengan tenang,” ujarnya.
Plt. Kepala Dinas Kehutanan Bangka Belitung, Bambang Trisula, menjelaskan bahwa pihaknya telah mendata 16.800 hektar kebun sawit di kawasan hutan selama tiga tahun terakhir melalui UU Cipta Kerja. Ia menambahkan, kepala desa diberi waktu 14 hari untuk mendata kebun di bawah 5 hektar sebagai bahan kebijakan pusat.
Dirjen Planologi Kehutanan, Doni Sri Putra, menyebut 40% wilayah Bangka Belitung masih berstatus kawasan hutan. Ia menegaskan pentingnya keseimbangan ekosistem sambil memberikan akses kelola melalui perhutanan sosial bagi lahan yang belum 20 tahun digarap. “Penyelesaian sawit di kawasan hutan melibatkan lintas kementerian. Kami tidak bisa melakukannya sendiri,” tegasnya.







Komentar Via Facebook :