Berita / Nasional /
GAPKI: Pemerintah Tidak Akan Gegabah Mengimplementasikan B50
Ketua Umum GAPKI, Eddy Martono (kedua dari kanan) dan Ketua Pelaksana IPOC 2024, Mona Surya (ketiga dari kanan). Foto: Taufik Alwie
Jakarta, elaeis.co - Program biodiesel menuju B50 yang digadang-gadang Pemerintahan Prabowo Subianto terus menjadi perhatian serius bagi kalangan stakeholders industri sawit.
Tak ketinggalan, tentu saja, bagi para pelaku industri sawit khususnya yang bernaung dalam Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI).
Ketua Umum Gapki Eddy Martono mengakui sangat memperhatikan perkembangan program mandatori biodiesel yang didorong menuju persentase bauran yang lebih tinggi tersebut.
Dari segi positif, ia melihat semangat menggenjot program biodiesel tersebut sangat baik guna memacu upaya peningkatan produktivitas kelapa sawit yang menjadi salah satu kunci keberhasilan program biodiesel.
Namun dia mengakui pula kalau kondisi riil di lapangan, di sektor hulu, sebetulnya belum mendukung peningkatan program biodiesel tersebut.
"Produksi (minyak sawit) saat ini sudah stagnan, bahkan kalau mau jujur, justru produktivitas menurun," ucap Eddy pada konferensi pers yang digelar GAPKI di kantornya, Kamis, 22 Oktober 2024, menyosong Indonesian Palm Oil Conference (IPOC) 2024 yang akan diadakan pada 6-8 November mendatang di Bali.
Kebetulan, pada salah satu agenda gelaran IPOC ke-20 itu, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman dijadwalkan memberikan special address, berjudul: Enhancing Palm Oil Productivity towards B50 Implementation Goals.
Nah, judul special address ini yang memantik diskusi, karena terkesan sekali pemerintah sangat bernafsu mengimplementasikan segera program B50 di tengah kondisi lapangan yang kurang mendukung.
Terlebih pula, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia sebelumnya memastikan pasokan minyak sawit mencukupi untuk program biodiesel, bahkan untuk B60.
Menggerus volume ekspor minyak sawit
Eddy Martono mengakui pula, jika dengan asumsi produksi minyak sawit tetap stagnan di kisaran 50 juta ton per tahun seperti saat ini, maka implementasi biodiesel menuju bauran yang lebih tinggi mau tak mau akan menggerus volume ekspor minyak sawit cukup signifikan.
Dipaparkannya, untuk program B35 saja menghabiskan 11,6 juta ton minyak sawit, sudah melampaui kebutuhan untuk pangan yang "hanya" 10,3 juta ton.
Dalam kalkulasi GAPKI, untuk program B40 diperkirakan akan menyedot minyak sawit sebanyak 14 juta ton, dan untuk B50 akan menyedot 17,5 juta ton.
Dalam kaitan menggerus ekspor, B40 diperkirakan akan menurunkan volume ekspor sebesar 2 juta ton. Sedangkan B50 akan menurunkan 6 juta ton.
"Kalau B60, diperkirakan (volume ekspor) bisa turun sampai 10 juta ton," kata Eddy. Sebuah persentase yang tinggi, mengingat volume ekspor berada di kisaran 30 juta ton per tahunnya. Ini pun dengan asumsi kebutuhan untuk pangan tidak meningkat signifikan.
Ia mengingatkan pula, turunnya volume ekspor ini selain menurunkan penerimaan devisa, juga menurunkan pendapatan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) yang pemasukan pokoknya mengandalkan Pungutan Ekspor (PE) sawit.
Akibatnya, kocek BPDPKS yang dikabarkan telah menyusut dan mengalami defisit tahun berjalan, akan semakin menipis.
Kondisi ini tentu akan berdampak pada implementasi biodiesel itu sendiri, dan juga akan menghambat program BPDPKS lainnya. Seperti, Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) yang pendanaannya telah dinaikkan 100% menjadi Rp60 juta per hektare.
Sejauh ini pelaksanaan PSR masih jauh dari target yang ditetapkan seluas 180.000 hektare per tahun, yakni realisasinya kurang dari 30%. Capaian rendah ini berpotensi akan terhambat pula lantaran kocek BPDPKS menipis. Akibatnya, akan sulit diharapkan produksi meningkat.
Nah, berangkat dari kondisi ini, Eddy Martono menyatakan keyakinannya bahwa pemerintah tidak akan buru-buru untuk segera mengimplementasikan program biodiesel dengan bauran yang tinggi.
“Saya yakin pemerintah tidak akan gegabah, selama produksi tidak mencukupi untuk semua itu,” kata Eddy, dengan nada cukup optimistis.
Ia juga berkeyakinan, pemerintah akan lebih dulu dengan segala cara memperbaiki di sektor hulu dalam rangka meningkatkan produktivitas. Termasuk, mungkin saja, dengan menerapkan kebijakan-kebijakan yang mendorong akselerasi PSR.
IPOC 2024
Sebelum diskusi hangat tadi berlangsung, dalam konferensi pers itu dipaparkan mengenai perhelatan 20th Indonesian Palm Oil Conference and 2025 Price Outlook yang dijadwalkan berlangsung pada 6-8 November 2024 di Bali International Convention Center, Nusa Dua, Bali.
Perhelatan kali ini mengusung tema "Seizing Opportunities Amidst Global Uncertainty". Dalam konferensi pers yang dipandu Media Relation GAPKI Fenny Sofyan itu, segenap petinggi GAPKI hadir mendamping Ketua Umum Eddy Martono.
Di antaranya, Sekjen GAPKI Hadi Sugeng, Bendahara Umum GAPKI sekaligus Ketua Panitia Pelaksana IPOC 2024 Mona Surya, serta Wakil Ketua Bidang Organisasi, Satrija B. Wibawa.
Mona Surya menjelaskan, IPOC merupakan acara tahunan penting bagi para pemangku kepentingan minyak nabati global dan komunitas minyak kelapa sawit Indonesia.
“Konferensi dua hari ini akan menawarkan analisis komprehensif tentang pasar minyak nabati dunia, membahas peraturan global dan dampaknya terhadap industri minyak sawit,” ujar Mona
“Juga mengenai kebijakan Indonesia, perspektif pasar dari negara-negara importir, dan dinamika permintaan-penawaran serta prospek harga untuk tahun mendatang,” Mona menambahkan.
Selain konferensi, juga disajikan pameran kemajuan teknologi, produk, dan layanan terbaru dalam industri minyak sawit.
Peserta pameran, di antaranya mencakup perwakilan dari desain sipil, konstruksi, teknik, lingkungan dan industri hijau, lembaga pemerintah, organisasi pengembangan sumber daya manusia.
Acara yang juga menyediakan platform jaringan yang sangat baik dengan para pemimpin dan pelaku industri ini dijadwalkan dibuka oleh oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian.
Gelaran itu akan menghadirkan sejumlah menteri, seperti Menteri Pertanian, Menteri Perdagangan, dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas.
Para pakar dari luar negeri juga dijadwalkan hadir untuk memberikan pandangannya mengenai tren harga di masa depan.
Mereka adalah Thomas Mielke (Oil World), Julian McGill (Glenauk Economics), Nagaraj Meda (Transgraph), dan Dorab Mistry (Godrej International Ltd.).







Komentar Via Facebook :