Berita / Nasional /
GAPKI: Harga CPO Tembus USD1.300/Ton, Produksi Sawit Stagnan Jadi Alarm Serius
Ilustrasi ekspor CPO.(Int)
Jakarta, elaeis.co - Harga minyak sawit mentah (CPO) diprediksi masih akan meroket hingga akhir tahun 2025. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menilai tren produksi yang stagnan, baik di Indonesia maupun Malaysia, bisa menjadi pemicu lonjakan harga di pasar internasional.
Ketua Umum GAPKI, Eddy Martono, menyebut harga CPO di Rotterdam berpeluang bertahan pada kisaran USD1.100–USD1.200 per metrik ton, bahkan bisa menembus USD1.300 per metrik ton jika tren permintaan dunia terus meningkat.
“Kalau kita lihat data, produksi sawit Indonesia lima tahun ini stagnan. Produksi Malaysia juga sama. Sementara permintaan dunia terus meningkat, tidak hanya untuk sawit tapi juga minyak nabati lainnya,” jelas Eddy dalam diskusi publik Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Senin (22/9/2025).
Meski pembiayaan bukan kendala utama karena bank-bank besar nasional (Himbara) masih membuka akses kredit untuk sektor hulu maupun hilir sawit namun GAPKI menyoroti ketidakpastian regulasi dan status lahan yang masih sering jadi batu sandungan.
Kepastian hukum lahan, menurut Eddy, krusial agar investasi sawit bisa berjalan tanpa hambatan. “Kalau regulasi dan status lahan tidak jelas, investor tentu berpikir ulang,” katanya.
GAPKI juga menggarisbawahi tantangan serius dalam program peremajaan sawit rakyat (PSR). Dari sekitar 3 juta hektare kebun sawit rakyat yang sudah layak diremajakan, realisasinya masih jauh dari harapan.
Faktor utama penyebabnya adalah status lahan yang dikategorikan kawasan hutan, sehingga petani tidak bisa mengakses dana hibah dari Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP).
“Petani enggan menebang karena khawatir kehilangan penghasilan sehari-hari. Padahal produktivitas kebun mereka sudah sangat rendah, hanya sekitar 10 ton tandan buah segar per hektare per tahun, bahkan di bawah itu,” ujar Eddy.
Untuk itu, GAPKI mendorong adanya dukungan sementara bagi petani, seperti bantuan hidup, akses pinjaman lunak, hingga sistem intercropping dengan tanaman semusim seperti jagung atau padi gogo. Skema ini diharapkan bisa menjaga pendapatan petani selama masa tunggu tanaman sawit baru berproduksi.
Selain peremajaan, GAPKI menyoroti rencana pemerintah yang ingin meningkatkan bauran biodiesel dari B40 menjadi B50 pada 2026.
Eddy mengingatkan, kebijakan ini harus dipertimbangkan matang-matang agar tidak mengorbankan ekspor.
“Kalau produksi stagnan sementara kebutuhan domestik naik, maka ekspor yang akan dikurangi. Indonesia adalah pemasok besar minyak nabati dunia, sehingga penurunan ekspor bisa mendorong harga minyak nabati global melonjak,” tegasnya.
Hingga kini, pemerintah memang belum mengetuk palu apakah program B50 akan dijalankan atau tetap bertahan di B40. GAPKI sendiri sudah menyampaikan masukan agar kebijakan tersebut dievaluasi secara komprehensif.







Komentar Via Facebook :