https://www.elaeis.co

Berita / Dewandaru /

Gagalnya Swasembada Sapi

Gagalnya Swasembada Sapi

Wayan Supadno bersama 40 ekor sapi betina yang baru dibeli dari Puslitbangtan Kementan, untuk dijadikan indukan. foto: ist


Lebih dari 20 tahun Indonesia gagal dan gagal mencanangkan swasembada sapi. Harusnya kenyataan pahit ini jadi cerminan dan pembelajaran; jadi ilmu hikmah. Utamanya bagi pemerintah dan ilmuwan sebagai pemikir bangsa.

Gagalnya swasembada sapi Indonesia akibat mengingkari amanah ilmu pengetahuan bahwa memuliakan atau membiakkaan adalah memimpin masa depan (breeding is leading).

Padahal sapi bagian dari sumber protein hewani untuk membangun sumber daya manusia, setidaknya terkait kesehatan masyarakat hingga masa depan. Itulah makanya sapi menjadi penting dan strategis.

Karena strategis itu pula maka ada kementerian dan pendidikan yang fokus mengurusinya dengan biaya sangat besar, rutin. 

Namun ternyata gagal mengurusi hingga harus mengimpor setara 1,5 juta ekor pertahun. Itupun mahal dan langka. Ujung-ujungnya jadi beban bagi masyarakat.

Kondisi ini sesungguhnya akibat dari jebakan sifat mau serba instan, tanpa menganalisa neraca pangan dan neraca sapi, khususnya. Tanpa strategi solusi terukur untuk berkelanjutan. Pendek kata; maunya impor saja.

Baca juga: Pakar Unpad: 'Tonas' Jangan Asal Ngomonglah...

Padahal prinsip, rohnya peternakan sapi itu ada pada peternaknya. Tiada peternak sapi, maka matilah dunia peternakan itu, alhasil, tiada daging sapi. Ini esensinya. Maka jadikan iklim usaha breeding yang menjadikan breeder, betah.

Bagaimana selama ini ?

Begini; 98% porsi peternakan sapi breeding hanya dilepas bebas ke peternak rakyat, yang dianggap bagian dari budaya, sambilan dan tabungan belaka. Bukan jadi bagian dari bisnis utama, bukan tulang punggung ekonomi keluarga.

Hampir belum ada perusahaan yang berorientasi breeding sapi jadi tumpuan usaha utama. Misal saja punya sapi indukan hingga ribuan ekor. Ini bukti konkret bahwa "breeding sapi" di mata pebisnis belum menjanjikan, fisibelitasnya belum ada, tidak pantas investasi di situ.

Artinya...
Maaf dengan segala hormat. Ini pertanda bahwa pemerintah, para ilmuwan dan kampus yang telah menghabiskan dana APBN yang bersumber dari cucuran keringat rakyat triliunan rupiah selama 20 tahun terakhir, gagal dalam tugasnya. Sia-sia.

Saat inilah kesempatan emas untuk mawas diri. Mari konsolidasi dan rancang stratategi yang lebih logis lagi. 

Yang pasti, jika breeding tanpa diminati pelaku usaha utamanya oleh kawula muda dalam skala usaha, itu pertanda bahwa telah terjadi kegagalan dalam menyiapkan keberlanjutan. Sekali lagi, itu kegagalan fatal!

Alternatif solusinya ;

1. Bangun SDM Peternakan berjiwa pengusaha dan bermental petarung untuk usaha masa depan berkelanjutan agar jumlah peternak muda fase breeding lebih banyak lagi. Soal teknis, sudah pasti. Sebab selama ini hebat semua dan jumlahnya banyak sekali.

2. Bangun iklim usaha peternakan, utamanya breeding total dan ini harus lebih menguntungkan dibanding fattening (penggemukan sapi yang dilakukan dengan cara menggembalakan sapi di lahan gembalaan).  Ingat, tanpa membiakkan, artinya tanpa masa depan. Ini rumus baku.

3. Lakukan cipta kondisi. Biar semua punya "rasa malu" jika terus dan terus gagal swasembada sapi. Apalagi jika jumlah impornya makin melambung tinggi. Makin saling menyalahkan dengan lomba banyak pendapat, tapi minim pendapatan.

Seolah negeri subur idealnya tempat pakan murah berlimpah ini, warganya sedang mempertontonkan ketidak mampuannya di hadapan negeri tandus Australia sebagai sumber impor sapinya. Ironis!


 

 

Wayan Supadno
BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Komentar Via Facebook :