https://www.elaeis.co

Berita / Pojok /

EUDR: Penundaan Implementasi, Implikasi Kebijakan, dan Arah Strategis bagi Petani Indonesia

EUDR: Penundaan Implementasi, Implikasi Kebijakan, dan Arah Strategis bagi Petani Indonesia


Oleh: Dimas H Pamungkas*

Perkembangan terbaru dari Parlemen Eropa menandai perubahan penting dalam proses implementasi EU Deforestation Regulation (EUDR). Pada Rabu (26 November 2025), Parlemen Eropa secara resmi mengadopsi mandat negosiasinya dengan menyetujui penundaan implementasi selama 12 bulan.  Baca di : https://bit.ly/4ajokYH

Keputusan ini didorong oleh dinamika politik internal Eropa, terutama peran MEP Christine Schneider yang memperoleh dukungan luas dari blok kanan dan kanan-ekstrem.

Dengan langkah ini, batas waktu implementasi bergeser menjadi 30 Desember 2026 untuk operator menengah dan besar, serta 30 Juni 2027 untuk operator mikro dan kecil.

Selain penundaan, beberapa keputusan penting memperjelas arah kebijakan UE. Pertama, adanya "klausul peninjauan" yang mewajibkan Komisi menyerahkan laporan paling lambat April 2026 untuk menilai beban administratif dan menawarkan opsi penyederhanaan.

Kedua, Parlemen mempertegas model traceability berbasis importer first +1, yang membatasi kewajiban pengaliran data hanya sampai operator atau pedagang hilir pertama.

Ketiga,  Parlemen memperluas pengecualian bagi operator kecil dan mikro di negara berisiko rendah, termasuk penggunaan kode pos perusahaan alih-alih koordinat geolokasi kebun.

Sejumlah amandemen tambahan yang disahkan Parlemen, seperti: masa tenggang dalam penegakan, pembentukan kelompok pemangku kepentingan permanen, peningkatan komunikasi otoritas, serta pengecualian beberapa produk cetak, juga memperlihatkan adanya kesadaran bahwa implementasi EUDR membutuhkan masa transisi yang lebih realistis.

Di saat yang sama, laporan Ombudsman Eropa mengenai maladministrasi dalam penyusunan Omnibus Proposal semakin menekan Komisi untuk memperbaiki pendekatan regulasinya, menciptakan ruang negosiasi yang lebih besar bagi negara produsen.

Bagi Indonesia, penundaan ini merupakan jendela peluang yang harus dimanfaatkan dengan cepat dan strategis. Alih-alih merespons secara defensif, momentum ini dapat digunakan untuk memperkuat kesiapan sistem, memastikan petani kecil tidak tersisih, dan menata ulang hubungan dagang dengan UE melalui dialog berbasis bukti dan keadilan regulasi.

 

Arah strategis bagi petani sawit, kopi, dan kakao Indonesia

Dalam kerangka implementasi EUDR yang disederhanakan, terdapat tiga persyaratan dasar yang paling relevan untuk petani kecil:

1. Legalitas lahan dasar

Petani seharusnya cukup menyiapkan bentuk legalitas minimal seperti SKT, SPPT PBB, atau surat keterangan desa. Tidak perlu menunggu sertifikat formal selama bukti administratif dasar dapat menunjukkan kontrol dan legalitas lahan.

2. Koordinat kebun (geolokasi sederhana)

EUDR tidak mengharuskan petani kecil menyediakan poligon detail. Titik koordinat pusat kebun, luas perkiraan, dan tahun tanam sudah cukup sebagai tier 1 geolocation selama masa transisi.

3. Catatan transaksi TBS atau hasil panen

Bukti panen, volume, dan riwayat penjualan ke pengepul atau koperasi merupakan elemen kunci untuk memastikan keterlacakan sampai first collector di rantai pasok.

 

Melalui pendekatan ini, petani dapat memenuhi elemen dasar due diligence tanpa biaya tinggi dan tanpa menggunakan sistem digital yang rumit.

 

Usulan kebijakan untuk Indonesia

Agar Indonesia siap sebelum tenggat 2026/2027, pemerintah perlu mengambil langkah kebijakan yang cepat tetapi terfokus:

1. Membangun Minimal Compliance System Nasionaf

Alih-alih menunggu dashboard terintegrasi yang kompleks, pemerintah dapat menyediakan sistem sederhana berbasis:

- Registrasi petani,

- Legalitas dasar,

- Titik koordinat sederhana,

- Riwayat penjualan.

Sistem ini cukup sebagai fondasi awal untuk memenuhi EUDR tahap transisi.

2. Standarisasi data pekebun untuk semua komoditas

Sawit, kopi, kakao, dan karet menghadapi tantangan serupa. Pemerintah perlu mengembangkan standar data minimum lintas komoditas, sehingga koperasi dan pabrik dapat mengumpulkan informasi tanpa kebingungan teknis.

3. Penguatan koperasi sebagai pusat agregasi data

Koperasi harus didorong menjadi simpul utama penyimpanan dan verifikasi data petani. Pemerintah dapat menyediakan dukungan anggaran, pelatihan enumerator, serta insentif untuk adopsi sistem digital yang sederhana namun konsisten.

4. Diplomasi level playing field terhadap UE

Penegasan bahwa petani kecil Indonesia patut mendapat perlakuan yang sama dengan petani kecil UE—yang memperoleh deklarasi satu kali dan aturan geolokasi yang lebih longgar—harus menjadi prioritas diplomasi pada negosiasi teknis berikutnya.

5. Skema pembiayaan transisi untuk petani

Dana sawit, dana perkebunan, kredit KUR hijau, dan pembiayaan donor multilateral dapat disinergikan untuk membantu pemetaan lahan, penyediaan GPS, dan pelatihan pemenuhan data.

 

Penundaan EUDR bukan sekadar penundaan atau relaksasi teknis, melainkan koreksi arah kebijakan yang membuka ruang negosiasi ulang berbasis keadilan regulasi. Indonesia tidak cukup hanya menyiapkan dashboard kepatuhan, tetapi harus mengamankan prinsip no smallholder left behind melalui diplomasi level playing field, sebab masa transisi EUDR tetap bersifat limited window. Tanpa kesiapan sistemik 2026–2027, risiko eksklusi petani kecil dari pasar premium UE tetap nyata—dan justru membesar.

*Peneliti Kebijakan Sawit Nasional

 

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Komentar Via Facebook :