https://www.elaeis.co

Berita / Nasional /

EUDR Ditangguhkan Setahun, tapi Indonesia Masih Keberatan karena 4 Hal ini

EUDR Ditangguhkan Setahun, tapi Indonesia Masih Keberatan karena 4 Hal ini


Jakarta, elaeis.co – Meski implementasinya ditangguhkan hingga awal tahun depan, masih banyak pihak yang keberatan terhadap European Union Deforestation Regulation (EUDR).

Uni Eropa (UE) memberlakukan EUDR sebagai upaya untuk mengurangi deforestasi global. Kebijakan ini mewajibkan sejumlah produk yang masuk ke pasar Eropa memiliki bukti tidak berasal dari lahan yang mengalami deforestasi setelah tahun 2020. Peraturan ini berlaku bagi 7 produk yang dianggap berisiko terkait dengan deforestasi. Yakni minyak kelapa sawit, kayu dan produk kayu, kopi, kakao, karet, kedelai, dan produk daging.

Negara-negara penghasil komoditas seperti Indonesia menolak kebijakan ini karena dinilai sepihak dan berpotensi merugikan petani kecil serta perekonomian nasional.

Diplomat senior dan anggota Dewan Pengawas Indonesia Palm Oil Strategic Studies (IPOSS), Yuri O. Thamrin menyebutkan, ada empat aspek utama dalam EUDR yang masih menjadi keberatan bagi Indonesia.

Salah satu aspek paling kontroversial dari EUDR adalah sistem benchmarking. Dalam sistem ini, negara-negara penghasil komoditas akan dikategorikan sebagai high risk, standard risk, atau low risk berdasarkan kriteria yang belum sepenuhnya transparan.

Jika Indonesia masuk dalam kategori high risk, dampaknya bisa sangat merugikan. "Kalau Anda di-judge sebagai high risk country dengan kriteria yang nggak jelas, reputasi Anda akan rusak," ujar Yuri yang ditemui elaeis.co di Jakarta, Selasa (18/2).

“Itu bisa menyebabkan harga produk Indonesia ditawar lebih rendah di pasar internasional meskipun telah menunjukkan komitmen dalam mengurangi kebakaran hutan dan meningkatkan reforestasi, serta telah mengambil langkah konkret dan menunjukkan komitmen tinggi terhadap keberlanjutan lingkungan seperti menetapkan target net sink karbon 2030. EUDR seharusnya mendorong kerja sama, bukan memberikan hukuman bagi negara yang telah berupaya keras dalam konservasi,” sambungnya.

Aspek kedua, EUDR mewajibkan setiap produk memiliki data geolokasi yang jelas untuk melacak asal-usulnya. Bagi beberapa negara seperti China, aturan ini dianggap masuk dalam ranah keamanan nasional. "Kalau China, geolocation nggak bisa dibagi ke negara lain. Itu masuk ke dalam national security domain. Kalau kita masih bisa, tapi melalui National Dashboard," jelas.

Indonesia sendiri sedang berdiskusi dengan Uni Eropa untuk memastikan interoperabilitas dalam berbagi data geolokasi, dengan tetap menjaga aspek keamanan dan kedaulatan data nasional.

Aspek ketiga yakni perbedaan definisi hutan antara UE dan Indonesia. Menurut Yuri, peta yang digunakan UE tidak selalu sesuai dengan kondisi di lapangan di Indonesia. Hal ini dapat menyebabkan produk yang seharusnya memenuhi standar keberlanjutan tetap dianggap tidak sesuai oleh UE. "Kalau definisinya beda, pemetaannya beda, bagaimana kita bisa comply dengan aturan mereka? Karena itulah diperlukan dialog lebih lanjut agar kebijakan ini tidak merugikan pihak-pihak yang telah berusaha memenuhi standar keberlanjutan," tegasnya.

Terakhir, kekhawatiran terbesar Indonesia adalah dampak EUDR terhadap petani kecil. Jika petani tidak mampu memenuhi persyaratan ketat yang ditetapkan UE, maka mereka terpaksa keluar dari rantai pasok internasional. "Kalau itu terjadi, masalahnya bukan hanya ekonomi, tapi juga kemiskinan. Padahal kemiskinan bertentangan dengan tujuan bersama untuk menjaga lingkungan sekaligus meningkatkan kesejahteraan sosial," tandasnya.

Menurut Yuri, Indonesia telah melakukan berbagai upaya diplomasi untuk mengatasi tantangan ini. "Kita bersyukur ada penundaan, kita bisa bernapas, tapi kita tetap harus memperjuangkan perubahan substansi regulasi ini. Selama satu tahun ini Indonesia akan terus melakukan negosiasi dengan UE, termasuk dalam hal interoperabilitas data dan pengakuan terhadap standar keberlanjutan ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) yang telah dikembangkan di Indonesia," ujarnya.

Dia mendesak UE lebih bijaksana dalam menerapkan kebijakan ini mengingat dinamika geopolitik global. "Jangan menciptakan musuh yang nggak perlu. UE harus melihat Indonesia sebagai partner, bukan sebagai target yang harus dihukum,” tukasnya.

Indonesia sendiri memiliki hubungan dagang yang cukup menguntungkan dengan UE. "Kita menikmati tax relief sampai 30% karena GSP dari UE. Kita punya surplus perdagangan, jadi bisalah kita upayakan jalur diplomasi," tambahnya.

Dia mengakui EUDR memiliki tujuan mulia untuk mengurangi deforestasi, namun cara penerapannya perlu dikaji ulang agar tidak merugikan negara-negara produsen, terutama petani kecil. “Indonesia tetap berkomitmen terhadap keberlanjutan lingkungan, tetapi berharap regulasi ini lebih inklusif dan berbasis kerja sama, bukan sekadar instruksi sepihak dari UE,” pungkasnya.

 

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Komentar Via Facebook :