https://www.elaeis.co

Berita / Nasional /

EUDR dan Nasib Sawit Indonesia, BRIN Akhirnya Buka Suara

EUDR dan Nasib Sawit Indonesia, BRIN Akhirnya Buka Suara

BRIN akhirnya buka suara soal EUDR, regulasi Uni Eropa yang mengancam ekspor kelapa sawit Indonesia. Dok.Istimewa


Jakarta, elaeis.co – BRIN akhirnya buka suara soal EUDR, regulasi Uni Eropa yang mengancam ekspor kelapa sawit Indonesia.

Peraturan Deforestasi Uni Eropa atau The European Union Deforestation Regulation (EUDR) mulai menjadi sorotan serius bagi masa depan industri kelapa sawit Indonesia. Aturan yang disahkan pada 2023 ini mewajibkan tujuh komoditas utama, termasuk sawit dan karet, bebas deforestasi dan legal secara hukum di negara asalnya sebelum bisa masuk ke pasar Uni Eropa.

Menyikapi tantangan besar ini, Pusat Riset Politik (PRP) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menggelar diskusi publik bertajuk “EUDR dan Implikasinya bagi Indonesia” pada Selasa, 27 Mei 2025 di Kawasan Sains Sarwono Prawirohardjo, Jakarta. 

Kepala PRP BRIN, Athiqah Nur Alami, menjelaskan bahwa EUDR bukan sekadar aturan lingkungan, melainkan kebijakan yang sangat memengaruhi perdagangan dan dinamika sosial ekonomi di negara-negara berkembang seperti Indonesia.

“EUDR bertujuan untuk mencegah komoditas seperti sawit, kopi, kakao, dan daging sapi yang menjadi penyebab utama deforestasi masuk ke pasar Eropa,” kata Athiqah. 

Namun, kebijakan ini memicu perdebatan hangat karena dianggap sebagai bentuk baru imperialisme atau neokolonialisme yang memberatkan petani kecil dan membatasi akses mereka ke pasar global.

Diskusi yang diinisiasi BRIN ini membuka ruang refleksi penting tentang dilema antara tuntutan keberlanjutan global dan kenyataan sosial-ekonomi di tingkat lokal. 

"EUDR bisa menjadi peluang mendorong tata kelola sektor komoditas yang lebih baik, sekaligus memperkuat agenda keberlanjutan yang selama ini sulit tercapai di Indonesia,” sebut Atiqah.

 

Sementara itu, Peneliti dari Universitas Wageningen, Belanda, Iris Eukema, menyoroti tantangan teknis dan implementasi yang sangat kompleks. Dengan batas waktu penerapan penuh EUDR mulai Desember 2025, waktu persiapan bagi Indonesia tergolong singkat. 

“Petani kecil, yang sering kali tidak memiliki hak atas tanah resmi atau sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO), akan sangat terdampak. Selain itu, rumitnya rantai pasok sawit menambah kesulitan dalam memenuhi prinsip ketertelusuran yang diamanatkan EUDR,” jelasnya.

Iris menambahkan, ketidaksesuaian definisi hutan dan bahasa regulasi antara Indonesia dan Uni Eropa menimbulkan kebingungan dalam pelaksanaan. 

Pemerintah Indonesia memandang EUDR sebagai tindakan diskriminatif yang cenderung mengabaikan upaya lokal dalam mengurangi deforestasi.

Meski penuh kontroversi, EUDR memberikan tekanan positif agar pemerintah dan pelaku industri mempercepat penyelarasan data kehutanan, memperkuat sertifikasi ISPO, serta meningkatkan perlindungan hutan secara nyata. Namun, risiko besar tetap mengintai, terutama potensi pengucilan petani kecil dari rantai pasok global.

Sayangnya, sosialisasi EUDR di kalangan petani dan masyarakat masih minim. Bahkan pemahaman di tingkat akademisi pun terbatas. Beberapa pengusaha besar di sektor sawit mengaku siap menghadapi regulasi ini, walaupun masih ada pertanyaan teknis yang belum terjawab. 

Menariknya, pasar Uni Eropa hanya menyumbang sekitar 10% dari total ekspor sawit Indonesia, sehingga kehilangan akses ke Eropa dinilai bukanlah bencana besar oleh mereka.

Menutup diskusi, Athiqah menegaskan pentingnya sinergi antara pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat agar regulasi EUDR tidak menjadi ancaman melainkan peluang bagi sawit Indonesia untuk tampil lebih berkelanjutan dan berwajah kemanusiaan di panggung global.

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Komentar Via Facebook :