https://www.elaeis.co

Berita / Nasional /

Ekspansi Dinilai Berisiko, POPSI Minta Pemerintah Fokus Peremajaan Sawit Rakyat

Ekspansi Dinilai Berisiko, POPSI Minta Pemerintah Fokus Peremajaan Sawit Rakyat

Perkebunan kelapa sawit.(Dok)


Jakarta, elaeis.co - Rencana pemerintah memperluas kebun plasma hingga 600.000 hektare dinilai berpotensi memperkuat kemitraan dan meningkatkan akses ekonomi petani. Namun, sejumlah pihak menilai kebijakan ini mengandung risiko besar jika tidak diiringi dengan pengaturan lahan yang ketat dan pembenahan kewajiban perusahaan.

Ketua Umum Perkumpulan Organisasi Petani Sawit Indonesia (POPSI), Mansuetus Darto mengatakan sejatinya di banyak daerah, perusahaan sawit masih belum memenuhi kewajiban penyediaan plasma untuk masyarakat. Kondisi ini, mendorong ekspansi baru tanpa menuntaskan kewajiban lama. Langkah ini tentu hanya akan memperpanjang ketimpangan antara kebun inti perusahaan dan plasma petani.

“Ekspansi tidak boleh menjadi alasan untuk membebani masyarakat dengan skema penyerahan lahan yang justru memperlemah posisi petani,” kata Darto saat berbincang dengan elaeis.co, Sabtu (15/11).

Disamping itu, pola manajemen satu atap yang kerap diterapkan perusahaan dinilai rentan memicu konflik baru.

Kemudian, saat ini sejumlah desa disebut telah mengalami kekurangan lahan untuk pangan dan ruang hidup. Jika penetapan lokasi plasma dilakukan dari tanah masyarakat termasuk hutan adat, risiko konflik lahan dan hilangnya kedaulatan pangan lokal akan semakin besar.

Untuk itu harus ada penegasan bahwa lokasi plasma harus dibatasi hanya dari IUP/HGU yang sudah terbit, bukan dari cadangan lahan desa atau hutan yang tersisa.

“Di banyak wilayah, hutan desa adalah ruang terakhir. Jika itu masuk ke plasma, deforestasi tak terhindarkan,” ujar sambungnya.

Darto juga menilai ada ancaman ekologi dan peningkatan monokultur dari ekspansi tersebut. Ekspansi besar-besaran dikhawatirkan memicu deforestasi baru, menurunkan keanekaragaman hayati, serta menggeser lahan pangan. 

Ketika ladang dan sawah diganti menjadi sawit, desa kehilangan sumber pangan yang selama ini menopang kehidupan sehari-hari.
Pola monokultur juga membuat petani semakin bergantung pada satu komoditas dengan risiko ekonomi tinggi.

Untuk itu, ada sejumlah langkah yang juga dapat menjadi pilihan bagi pemerintah untuk menjaga keberlanjutan perkebunan kelapa sawit selain ekspansi. Pertama adalah percepat program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR).

Penyerapan PSR dinilai masih rendah, padahal peremajaan kebun tua dapat meningkatkan produktivitas tanpa membuka hutan baru. Replanting juga lebih murah dibanding membuka lahan baru, yang justru mendorong petani mengambil kredit baru.

“Kalau memaksakan buka lahan baru, itu seperti strategi menghabiskan dana, bukan meningkatkan produktivitas,” cetusnya.

Lanjutnya, pelaksanaan PSR selama ini disebut tersendat oleh birokrasi dokumen dan proses persetujuan yang panjang. Syarat legalitas lahan yang tumpang tindih juga menjadi hambatan besar dan perlu disederhanakan tanpa melemahkan pengawasan.

Langkah selanjutnya yakni mempermudah kemitraan FKKPMS dan petani swadaya. Ia menilai petani swadaya adalah penyumbang produksi sawit yang signifikan namun masih memiliki akses paling minim terhadap pembiayaan, bibit unggul, dan pasar. Memperkuat kemitraan dianggap penting agar kesenjangan produktivitas antara kebun rakyat dan perusahaan dapat diperkecil.

"Pengalihan dana biodiesel ke PSR juga dapat menjadi langkah yang bagus. Besarnya alokasi dana BPDP untuk subsidi biodiesel justru mengurangi porsi anggaran untuk PSR dan pemberdayaan petani.
Evaluasi terhadap kebijakan B50 cukup penting agar keseimbangan antara hilirisasi energi dan kesejahteraan petani tidak timpang. Dana yang dialihkan ke PSR jauh lebih berdampak bagi produktivitas, kesejahteraan, dan lingkungan,” tandasnya.


 

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Komentar Via Facebook :