https://www.elaeis.co

Berita / Nusantara /

Ekonom Ini Sebut Pemerintah Kurang Getol Promosi PSR

Ekonom Ini Sebut Pemerintah Kurang Getol Promosi PSR

Ilustrasi (foto:Gatra)


Jakarta, Elaeis.co - Ekonom Head Center of Food, Energy and Sustainable Indef Abra Talattov menyayangkan porsi peremajaan tanaman kelapa sawit rakyat masih kecil. Angkanya hanya 8,1 persen dari total akumulasi pendapatan 2015 sampai 2019 atas pungutan ekspor yang mencapai Rp 47 triliun.

“Akumulasi pendapatan yang diperoleh BPDBKS itu dari 2015 sampai 2019 adalah Rp 47 triliun, dari total dana yang dihimpun tadi mayoritas 89 persen itu dimanfaatkan untuk insentif biodiesel, yang disayangkan porsi untuk peremajaan sawit-sawit rakyat ini masih cukup kecil 8,1 persen dari total dana yang dihimpun dari 2015-2019,” kata Abra dilansir dari Liputan6.com, Minggu (14/3).

Kenapa disayangkan? karena kalau dilihat kebutuhan perkebunan sawit rakyat untuk mendapatkan peremajaan itu sangat penting. Lantaran produktivitas kebun kelapa sawit petani rakyat itu memang paling kecil dibandingkan perkebunan swasta ataupun perkebunan milik pemerintah.

“Hanya sekitar 3,06 juta ton per hektar jauh dibandingkan produktivitas kebun swasta, maka mestinya pungutan ekspor yang diambil oleh Pemerintah termasuk kepada petani atau kebun rakyat mestinya juga kembali lagi ke petani rakyat melalui dana untuk peremajaan lahan-lahan rakyat,” ujarnya.

Di sisi lain Abra menjelaskan, proyeksi kebutuhan Bahan Bakar Nabati (BBN) Indonesia yang sebagiannya akan dicoba di konversi melalui APBN diesel, sehingga jumlahnya sampai tahun 2025 target kontribusi BBN bisa mencapai 24,5 juta Kl.

“Jadi pemerintah sendiri juga sudah sangat berambisi untuk mengurangi ketergantungan kebutuhan BBM fosil kita dengan penuh, mengkonversi dengan BBN,” ujarnya.

Kemudian, di tengah keinginan Pemerintah dapat mengurangi importasi BBM fosil, selanjutnya bagaimana Pemerintah bisa mengoptimalkan pemanfaatan CPO yang over supply supaya bisa dilakukan hilirisasi melalui biodiesel.

“Tetapi kita memahami isu baru lainnya, bahwa ternyata perkembangan harga CPO dan fosil fuel itu tidak lagi mengalami hubungan linier. Pada akhirnya kita mengalami gap harga, sehingga adanya gap antara harga CPO dengan fosil itu mau tidak mau harus ditutup dengan insentif,” katanya.

Sehingga dengan memberikan insentif untuk produsen tersebut bisa mendorong mereka agar tetap mau mengolah CPO menjadi biodiesel di Indonesia, dan jika dilihat gap nya dalam beberapa tahun terakhir semakin melebar.

“Nah ini kan juga cukup mengkhawatirkan bahwa menjadi tantangan, ketika nanti target untuk produksi biodiesel meningkat, tetapi ada konsekuensi terhadap insentif yang dialokasikan pemerintah juga harus siap tinggi,” pungkasnya.

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Komentar Via Facebook :