Berita / Nasional /
Disparitas Harga TBS Sawit Membuat Petani Frustasi, Tapi Ada Solusinya Kok!
Ilustrasi - TBS kelapa sawit.
Jakarta, elaeis.co - Indonesia merupakan salah satu negara dengan perkebunan sawit terbesar di dunia. Sekitar 50% produksi sawit nasional dikelola oleh petani kecil.
Namun, di balik angka produksi yang besar, tersimpan tantangan yang nyata yakni disparitas harga Tandan Buah Segar (TBS) yang membuat petani frustrasi.
Djono A. Burhan, S.Kom, ’Mgt (Int.Bus), CC., CL, Kepala Hubungan Internasional DPP APKASINDO, mengungkapkan hal tersebut saat menjadi pembicara dalam Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan Institute for Development of Economics & Finance (INDEF).
Menurut Djono, tantangan utama petani sawit dalam memasuki pasar global bukan hanya masalah produksi, tetapi juga legalitas lahan dan perbedaan harga TBS di berbagai provinsi.
“Hal ini penting, karena untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas TBS, dibutuhkan harga yang stabil dan wajar,” ujar Djono, Senin (29/9).
Masalah nyata terlihat di lapangan: di Sumatera, harga TBS rata-rata untuk petani bermitra sudah di atas Rp 3.000 per kilogram, sedangkan di Sulawesi masih berada di kisaran Rp 2.000 per kilogram.
Perbedaan harga yang signifikan ini kerap menimbulkan ketidakpuasan sosial antarpetani. DPP APKASINDO rutin merilis harga TBS di 25 provinsi sebagai acuan untuk mengukur disparitas harga.
Selain itu, Djono menyoroti klaim kawasan hutan yang masih banyak terjadi. Banyak lahan produktif dipertanyakan statusnya, sehingga petani sering mengalami ketidakpastian hukum. Fenomena ini membuat petani sawit seakan terkungkung oleh regulasi yang belum jelas.
“Saya melihat masalah kawasan ini sebagai peluang, bukan tantangan, karena kuncinya ada pada pemerintah. Ini masalah domestik, bukan global,” tegas Djono.
Artinya, jika pemerintah meninjau kembali regulasi yang membatasi hulu dan hilir sawit, masalah yang terlihat seperti hambatan justru bisa menjadi pintu masuk ke pasar global. Misalnya, ketelusuran kebun sawit bisa menjadi nilai tambah ketika European Union Deforestation Regulation (EUDR) diterapkan pada 2027.
Djono menekankan, kunci utama adalah peninjauan regulasi negatif yang menghambat industri sawit. Tanpa langkah ini, peluang yang ada justru akan menjadi tantangan yang berkepanjangan.
“Pemikiran dan kreativitas petani dalam diplomasi sawit Indonesia sangat penting,” ujarnya sambil mengapresiasi INDEF yang membuka ruang bagi suara petani dalam berbagai pertemuan global.
Dengan dukungan regulasi pemerintah, teknologi yang ramah petani, sertifikasi keberlanjutan, serta inovasi produk, frustrasi petani akibat disparitas harga TBS dapat diatasi.
Sawit Indonesia tidak hanya akan eksis di pasar global sebagai komoditas, tetapi juga sebagai simbol ketangguhan dan kreativitas petani Indonesia






Komentar Via Facebook :