Berita / Pojok /
Dilema Kebun Sawit Hasil Rampasan
Kebun Torganda di kawasan Riau-Sumut yang disita Satgas PKH dan kemudian diserahkan untuk dikelola Agrinas Palma Nusantara. foto: ist
Oleh: Sudarsono Soedomo*)
Dalam beberapa tahun terakhir, kebun sawit yang dinilai dibangun secara ilegal di dalam kawasan hutan telah dirampas oleh negara sebagai bentuk penegakan hukum dan pengembalian fungsi kawasan.
Kebun-kebun tersebut kemudian diserahkan kepada PT Agrinas, sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN), untuk dikelola lebih lanjut.
Ada harapan bahwa pengelolaan kebun sawit rampasan ini akan menghasilkan pendapatan besar bagi negara, sekaligus menjadi contoh pemanfaatan aset negara secara produktif.
Namun, membayangkan aliran pendapatan tersebut secara optimistis mungkin perlu ditunda sementara waktu, karena terdapat persoalan mendasar yang belum terpecahkan, yaitu status legalitas dari lahan tempat kebun-kebun itu berdiri.
Pemerintah sendiri menyatakan bahwa kebun-kebun tersebut berada di dalam kawasan hutan. Maka muncul pertanyaan besar: apakah kebunkebun sawit rampasan ini nantinya akan dikembalikan secara bertahap menjadi hutan, sejalan dengan amanat perlindungan kawasan hutan dan fungsi ekologisnya?
Ataukah kebun-kebun tersebut akan dipertahankan sebagai kebun sawit untuk jangka panjang, dengan atau tanpa perubahan status legal kawasan yang digunakan?
Pilihan pertama selaras dengan prinsip pemulihan lingkungan dan restorasi fungsi hutan, tetapi tentu berimplikasi pada hilangnya potensi produksi dan pendapatan dari kebun sawit tersebut.
Sementara itu, pilihan kedua akan menghadirkan dilema hukum dan pasar yang jauh lebih kompleks. Jika kebun-kebun rampasan tetap dipertahankan sebagai kebun sawit di atas lahan yang secara hukum masih berstatus kawasan hutan, maka legalitas produk yang dihasilkan menjadi persoalan serius.
Produk sawit dari lahan yang tidak memiliki kejelasan legalitas, apalagi berasal dari konversi hutan tanpa izin, akan sulit diterima di pasar global yang kini semakin menuntut kepatuhan terhadap prinsip keberlanjutan, legalitas lahan, dan perlindungan hutan.
Sertifikasi seperti ISPO dan standar internasional seperti RSPO tidak akan dapat diberikan, karena tidak terpenuhinya persyaratan legalitas dasar.
Akibatnya, produk sawit dari kebun rampasan berisiko kehilangan akses ke pasar premium yang memberi imbalan harga lebih tinggi, serta mencoreng reputasi Indonesia dalam diplomasi keberlanjutan.
Inilah dilema kebun sawit rampasan: antara mengembalikan fungsi hutan dan kehilangan potensi produksi, atau mempertahankan kebun dan berhadapan dengan risiko eksklusi dari pasar global.
Keputusan yang diambil atas kebun-kebun ini tidak dapat didasarkan semata pada kalkulasi ekonomi jangka pendek, tetapi harus mempertimbangkan tata kelola kehutanan, legitimasi hukum, dan arah strategis industri sawit nasional ke depan.
Tanpa penyelesaian menyeluruh terhadap status kawasan dan skema legalisasi yang transparan, kebun sawit rampasan akan terus berada dalam wilayah abu-abu -produktif secara fisik, tetapi problematik secara hukum dan etika pasar.







Komentar Via Facebook :