Berita / Nusantara /
Dihempang Uni Eropa, Indonesia Terus Kembangkan Pasar Sawit
Warga Pekanbaru menandatangani petisi yang digagas Samade Riau. Foto: Hadly V/Antara Foto
Jakarta, elaeis.co - Kementerian Perdagangan (Kemendag) menegaskan bahwa Indonesia tak gentar menghadapi Uni Eropa. Bahkan Indonesia menggugat Uni Eropa karena mendiskriminasi sawit Indonesia.
Indonesia menggugat Uni Eropa (UE) terkait aturan Renewable Energy Directive II (RED II) dan Delegated Regulation Uni Eropa pada 2017 lalu. Gugatan itu terdaftar di WTO dengan nomor kasus DS 593.
Dalam RED II, Uni Eropa menetapkan kelapa sawit sebagai tanaman berisiko tinggi (high risk) terhadap deforestasi. Uni Eropa akan membatasi dan secara bertahap bakal menghapuskan penggunaan minyak kelapa sawit atau Crude Palm Oil (CPO) untuk biodiesel.
"Sengketa dagang DS 593 di WTO sejak 2017 ini merupakan kasus sengketa besar pertama di WTO yang terkait dengan isu perubahan iklim, kita sudah mencapai tahap tahap akhir," kata Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kemendag, Natan Kambuno, dalam webinar 'Hambatan Dalam Perdagangan Minyak Sawit ke Uni Eropa', dua hari lalu.
Dia menyampaikan, proses sengketa DS 593 sempat terhambat karena pandemi covid-19 dua tahun belakangan. Meski begitu, pihaknya optimistis upaya keras Indonesia akan membuahkan hasil yang baik.
"Semua tak lepas dari dukungan stakeholder sehingga pemerintah bisa berargumentasi dengan bukti ilmiah untuk memperkuat bukti keberhasilan komoditas sawit. Isu deforestasi sebenarnya sengaja dilakukan negara-negara Uni Eropa semata tujuannya menghambat pengembangan pasar sawit Indonesia, kita tak gentar dengan upaya pembuktian yang kita lakukan," ujarnya.
Peneliti Utama Pengolahan Hasil dan Mutu Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Medan, Dr Donald Siahaan mengatakan, peran dan aspek teknis biodiesel sawit erat kaitannya dengan kebijakan biofuel yang diterapkan Uni Eropa.
Menurutnya, sudah seharusnya pasar Uni Eropa mengakui kebaikan komoditas sawit dari berbagai aspek teknis biofuel berbahan sawit.
"Sawit sangat bermanfaat baik di dalam maupun di luar negeri. Maka sudah seharusnya minyak sawit ini akan menjadi high on demand atau tinggi permintaan pasarnya, sehingga harganya tetap akan baik dan tinggi. Tapi pengembangan komoditas sawit ini di pasar Uni Eropa masih terhambat," katanya.
Sementara itu, Deputi Pangan dan Agribisnis Kemenko Perekonomian Musdalifah Machmud optimis kebaikan sawit akan tetap hidup dan berkembang luas.
"Soal gejolak pasar sawit, menjadi suatu tantangan sendiri bagi Indonesia menuju lajunya pertumbuhan ekonomi negara. Mengenai hambatan pasar komoditas sawit tersebut, kita harus bekerja lebih keras meyakinkan negara luar tentang kebaikan sawit," katanya.







Komentar Via Facebook :