Berita / Nasional /
Diduga Ngemplang Bea Ekspor, Begini Kalkulasi Cuan Perusahaan Sawit dari Modus POME
Jakarta, elaeis.co – Sejumlah perusahaan sawit diduga menikmati keuntungan besar lewat trik mengubah status minyak sawit mentah atau CPO menjadi POME (Palm Oil Mill Effluent) atau fatty matter saat ekspor.
Langkah ini membuat komoditas bernilai tinggi tercatat seperti limbah, sehingga bebas bea keluar dan pajak ekspornya jauh lebih kecil. Pemerintah menilai praktik tersebut bisa merugikan negara hingga ratusan miliar rupiah per tahun.
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) dan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) kini sedang menelusuri temuan lonjakan ekspor POME yang tidak wajar ke India, China, dan beberapa negara lain.
Direktur Teknis Kepabeanan DJBC, Syarif Hidayat, mengungkapkan dari hasil pemeriksaan laboratorium, banyak sampel ekspor yang disebut POME ternyata masih mengandung minyak sawit cukup tinggi.
“Kami menemukan kandungan minyak di dalam POME yang diekspor mencapai 8–12%, padahal seharusnya di bawah 3%. Ini mengindikasikan ada penyamaran barang agar tidak terkena bea keluar,” ujar Syarif di Jakarta. Jumat (7/11).
Dari berbagai sumber, elaeis.co menemukan ada beberapa lapis keuntungan yang didapat dari praktik ini.
Pertama untuk menghindari bea keluar. Untuk diketahui, saat harga CPO tinggi, bea keluar bisa mencapai sekitar USD 80–100 per ton. Untuk satu kapal berisi 8.000 ton, bea keluar semestinya sekitar Rp12–15 miliar. Dengan mengubah deklarasi menjadi POME, biaya itu hilang total.
Jika satu perusahaan mengirim 3–4 kapal per bulan, keuntungan “penghematan” bisa menyentuh Rp40–60 miliar per bulan, atau lebih dari Rp600 miliar setahun.
Kedua, POME yang diekspor sebenarnya masih punya nilai jual tinggi. Harga POME asli hanya sekitar USD 5–20 per ton. Tetapi jika kandungan minyaknya masih tinggi, harga bisa melonjak menjadi USD 120–180 per ton karena masih bisa diekstraksi ulang menjadi minyak industri atau bahan baku biodiesel.
Ketiga, pajak ekspor ikut mengecil. Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Dwi Astuti menyebut penyamaran ini membuat nilai ekspor tercatat rendah, sehingga pajak yang dibayar juga minim.
“Jika terbukti ada rekayasa untuk mengurangi beban pajak dan bea keluar, sanksinya bukan hanya administratif, tapi bisa pidana,” tegas Dwi.







Komentar Via Facebook :