https://www.elaeis.co

Berita / Komunitas /

Di Kaltim, Penetapan Lahan Pangan Berkelanjutan Masih Samar

Di Kaltim, Penetapan Lahan Pangan Berkelanjutan Masih Samar

Ketua Apkasindo DPD Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur (Kaltim) Akhmad Indradi. Ist


Kaltim, elaeis.co - Penetapan lahan pangan yang tertuang dalam Undang-undang nomor 41 tahun 2009 dinilai belum jelas. Bahkan penetapan lahan pangan itu hanya terkesan penunjukan saja.

Ketua Apkasindo DPD Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur (Kaltim) Akhmad Indradi mengatakan, dalam undang-undang tersebut diatur bahwa penetapan lahan pangan berkelanjutan harus memenuhi syarat yang kesepakatan atau persetujuan petani pemilik lahan. Namun di lapangan justru sangat minim ditemukan adanya kesepakatan tadi.

"Nah, selama ini belum pernah ada perjanjian tertulis bahwa itu lahan perlindungan pangan berkelanjutan. Saat ini kebanyakan hanya penunjukkan saja," ujarnya saat berbincang bersama elaeis.co, Rabu (6/4/2022).

Kemudian kata pria yang akrap disapa Indra itu, lahan pangan berkelanjutan itu kebanyakan berada di dataran rendah. Yang kemudian hanya cocok ditanami padi. Pemahaman tersebut menjadi informasi umum yang justru diamini masyarakat. Padahal menurutnya tidak semua seperti itu.

"Nah batas lahan pangan ini juga tidak dijelaskan secara gamblang dijelaskan," tuturnya.

Perihal tersebut sejak beberapa tahun terakhir menjadi perbincangan, dimana di wilayahnya yakni di Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur (Kaltim) banyak petani yang mengalihkan sawahnya menjadi kebun kelapa sawit.

Bahkan dari pengamatannya hampir 40 persen luasan sawah yang ada di kabupatennya berubah menjadi kebun kelapa sawit. Seperti di Kecamatan Babuluh yang saat ini pohon kelapa sawitnya ada yang sudah berumur 10 tahun.

Menurutnya, sah-sah saja hal tersebut terjadi. Sebab tentu ada faktor yang mendasari peralihan komoditi itu.

"Banyak faktor yang membuat petani memilih untuk beralih ke kelapa sawit. Hal yang mendasar tentu menimbang keuntungan dan kemudahan untuk membantu petani memenuhi kebutuhan hidup," ujarnya.

Faktor lain adalah di wilayah itu petani padi justru mengalami kesulitan air. Sehingga memilih untuk mengganti komoditi yang dirawatnya.

"Sebenarnya ini kan hak petani. Lagi pula kita lihat juga tidak ada pelanggaran yang dilanggar," katanya.

Pro kontra dengan peralihan itu diakui Indra masih sangat kental terjadi di wilayahnya itu. Bahkan ia sempat mendengar bahwa ada ancaman akan memidanakan petani.

"Itu lahan pribadi yang dimiliki petani saat transmigrasi. Ada juga yang non transmigrasi. Jadi ini kan justru menjadi pelanggaran HAM," bebernya.

Jika alasannya lahan sawah menjadi perlindungan pangan berkelanjutan, maka negara harus hadir untuk menjamin kesejahteraan petani. Menurutnya, semestinya yang mengemban tugas sebagai pelindung pangan berkelanjutan adalah negara bukan petani.

"Ya gak fair dong kalau petani dibebankan seperti itu. Sementara saat ini petani juga kesulitan dalam mencari pupuk, biaya produksi tinggi dan sebagainya. Terkecuali petani dijadikan warga istimewa, hidupnya lebih terjamin nah itu oke oke saja. Ini kan gak ada. Tentu petani bebas memilih untuk memenuhi kebutuhannya. Terlebih lahan tersebut kan bukan beralih fungsi, hanya beralih komoditi saja," tandasnya.

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Komentar Via Facebook :