https://www.elaeis.co

Berita / Nasional /

DHE SDA Berlaku 2026, Sawit Watch Ingatkan Sederet Efek Domino

DHE SDA Berlaku 2026, Sawit Watch Ingatkan Sederet Efek Domino

Ilustrasi


Jakarta, elaeis.co – Aturan penempatan devisa hasil ekspor sumber daya alam (DHE SDA) yang wajib disimpan di bank pelat merah mulai Januari 2026 mulai memantik alarm. 

Di balik tujuan negara memperkuat cadangan devisa, Sawit Watch mengingatkan ada sederet efek domino yang bisa merembet ke lapisan paling bawah industri sawit: petani kecil dan buruh.

Direktur Eksekutif Sawit Watch Achmad Surambo menilai, ketika likuiditas perusahaan besar terganggu akibat dana ekspor “dikunci” di Himpunan Bank Milik Negara (Himbara), yang pertama kali dijadikan bantalan justru para petani. Menurutnya, perusahaan cenderung melakukan efisiensi untuk menutup biaya modal yang membengkak.

“Risikonya, pembayaran ke petani kecil atau mitra bisa terlambat. Bahkan harga beli tandan buah segar (TBS) bisa ditekan lebih rendah untuk menutup kebutuhan modal perusahaan,” kata Achmad, Rabu (17/12).

Tak berhenti di situ, dampaknya juga dikhawatirkan merembet ke buruh sawit. Pengetatan modal kerja, kata Achmad, sering kali berujung pada pemangkasan tunjangan hingga pengurangan hak-hak pekerja dengan dalih efisiensi operasional. Sawit, yang selama ini jadi tulang punggung ekonomi banyak daerah, berpotensi berubah jadi beban sosial jika kebijakan tak diiringi skema perlindungan.

Sawit Watch pun mengajukan sejumlah usulan agar kebijakan DHE SDA tak jadi bumerang. Pertama, insentif hijau dan sosial. Pemerintah diminta memberi keringanan masa retensi dana, dari 12 bulan menjadi 6 bulan, bagi perusahaan sawit yang memiliki sertifikasi berkelanjutan seperti ISPO atau RSPO dan terbukti tak memiliki konflik lahan dengan masyarakat adat.

“Dengan begitu, aturan devisa bisa jadi alat tawar untuk memperbaiki tata kelola di lapangan,” ujarnya.

Kedua, Sawit Watch mendorong adanya dana siaga likuiditas untuk petani. Bank Himbara yang memegang dana DHE SDA diminta menyediakan fasilitas dana darurat atau dana talangan berbunga sangat rendah khusus bagi koperasi petani sawit. 

Skema ini dinilai penting agar perusahaan besar tak menjadikan aturan pemerintah sebagai alasan menunda pembayaran TBS ke petani.

Usulan ketiga menyasar ke daerah. Achmad menilai perlu ada kompensasi Dana Bagi Hasil (DBH) yang lebih besar, khususnya untuk desa adat. 

Menurutnya, devisa yang ditarik berasal dari eksploitasi SDA di daerah, sehingga sudah semestinya ada persentase keuntungan pengelolaan DHE di Himbara yang dikembalikan ke wilayah penghasil untuk pemetaan wilayah adat dan pemberdayaan masyarakat lokal.

Di sisi pemerintah, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa memastikan aturan DHE SDA akan direvisi dan diwajibkan ditempatkan di Himbara mulai Januari 2026. Draf revisi tersebut, kata Purbaya, tengah difinalisasi dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) dan sudah diserahkan ke Menteri Sekretaris Negara.

“Sebentar lagi keluar dan efektif Januari,” ujar Purbaya di Istana Negara, Senin (15/12).

Menanggapi kekhawatiran soal sentralisasi likuiditas di bank pelat merah, Purbaya menilai kebijakan ini justru dibutuhkan untuk memperkuat pengelolaan devisa nasional. Ia menyebut kebijakan sebelumnya belum memberi dampak berarti terhadap ketahanan devisa Indonesia.

“Selama ini dampaknya hampir nol. Kalau kita terus lakukan cara yang sama, hasilnya ya nol terus,” katanya.

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Komentar Via Facebook :