Berita / Nasional /
DBH Sawit Gorontalo Cuma Rp 8 Miliar, KPK Tegur Pemda
Rapat koordinasi via zoom yang digelar Rabu (11/9) antara KPK, Pemprov Gorontalo, DPRD Provinsi, tiga kabupaten penghasil sawit—Gorontalo, Boalemo, Pohuwato—serta BPN. Dok.Istimewa
Gorontalo, elaeis.co - Investasi perkebunan sawit di Gorontalo ternyata belum memberi kontribusi yang signifikan bagi pendapatan daerah.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menegaskan, Dana Bagi Hasil (DBH) dari sawit yang diterima pemerintah daerah pada 2024 hanya Rp 8,82 miliar, jauh dibandingkan APBD gabungan empat daerah yang mencapai Rp 3,8 triliun.
Rapat koordinasi via zoom yang digelar Rabu (11/9) antara KPK, Pemprov Gorontalo, DPRD Provinsi, tiga kabupaten penghasil sawit—Gorontalo, Boalemo, Pohuwato—serta Badan Pertanahan Nasional (BPN), mengungkap fakta mengejutkan mengenai tata kelola sawit di daerah itu.
Eva Kartika dari tim supervisi KPK menegaskan, rendahnya DBH bukan satu-satunya masalah. “Kita juga menemukan potensi kerugian negara akibat ketidakpatuhan perusahaan dalam membayar pajak dan kewajiban lingkungan,” ujarnya.
Dalam paparannya, Eva menyebut praktik yang merugikan negara, mulai dari BPHTB, pajak kendaraan bermotor, pajak air permukaan, hingga pajak PBB yang belum dibayarkan oleh perusahaan sawit.
Menurut Eva, ada empat aspek utama yang harus diperbaiki: pertama, pengelolaan wilayah dan perizinan agar tidak terjadi konflik lahan, perambahan hutan, maupun tumpang tindih kepemilikan. Kedua, transparansi data dan informasi, yang selama ini minim dan membuka celah korupsi.
Ketiga, kepatuhan investor terhadap kewajiban pajak dan lingkungan. Keempat, pengawasan dan pengendalian yang lemah, sehingga memicu konflik antara perusahaan dan masyarakat serta kerugian lingkungan.
Wakil Gubernur Gorontalo, Idah Syahidah, mengakui tren penurunan DBH sawit. “Tahun 2022, DBH mencapai Rp 11 miliar, turun menjadi Rp 10 miliar pada 2023, dan Rp 8 miliar pada 2024. Ini untuk lahan sawit lebih dari 17 ribu hektar di tiga kabupaten,” jelasnya.
DPRD Provinsi Gorontalo juga menyoroti buruknya tata kelola sawit. Ketua Deprov, Thomas Mopili, menyebut banyak HGU sawit yang tidak dikelola dengan baik dan petani plasma yang hampir tidak memperoleh manfaat. “Kami membentuk Pansus untuk menelusuri persoalan ini, tapi kewenangannya terbatas. Pendampingan KPK sangat dibutuhkan,” ungkap Thomas.
Ketua Pansus Sawit, Umar Karim, menambahkan hasil investigasi lapangan menunjukkan indikasi pelanggaran serius. “Ada perusahaan yang tidak membayar pajak air permukaan, pabrik CPO tanpa izin operasi, dan bagi hasil plasma yang sangat merugikan masyarakat. Di Kabupaten Gorontalo, petani plasma hanya menerima Rp 1.000 per hektar,” katanya.
Anggota Pansus Limonu Hippy menambahkan, laporan produksi tandan buah segar dari perusahaan tampak tidak akurat. “Laporan hanya 6 ribu ton, padahal seharusnya mencapai 14 ribu ton. Ini jelas potensi kerugian negara yang harus ditelusuri,” ungkapnya.
KPK menegaskan, Pemda Gorontalo harus segera memperbaiki tata kelola sawit, memperketat pengawasan, dan memastikan investor patuh terhadap pajak serta kewajiban lingkungan. Hanya dengan langkah tersebut, sawit di Gorontalo bisa benar-benar memberi manfaat ekonomi bagi daerah dan masyarakat, bukan justru menjadi potensi kerugian negara.







Komentar Via Facebook :