Berita / Feature /
Dari Dulu Kontribusinya Segunung, Riau Dapat Apa...
Tugu 2 miliar barrel minyak bumi di Duri. foto: sahdan
Jakarta, elaeis.co - Halaman ke-8 dari 26 halaman paparan yang disodorkan oleh Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI), Dr. Tungkot Sipayung pada webinar Palm Corner Universitas Riau dua hari lalu itu cukup menggelitik.
"Habis minyak di bawah, beralih ke minyak di atas". Begitulah lelaki 55 tahun ini mengistilahkan Riau.
Tak berlebihan Ketua Tim Lintas Kementerian dan Asosiasi Penyusunan Roadmap Industri Sawit Indonesia mengatakan begitu.
Sebab Riau pernah berjaya dengan kedukan perut buminya yang mencapai 1 juta barrel minyak mentah perhari dari Blok Kangguru yang saat itu masih seluas 18.728 km2.
Bahkan hingga PT Chevron Pacific Indonesia pulang kampung pada Agustus mendatang, produksi minyak khususnya di Blok Rokan --- Kangguru --- masih di kisaran 165 ribu barrel per hari.
Jadi, tak aneh kalau dari Indonesia belum merdeka sampai sekarang, total minyak bumi yang sudah disedot dari perut bumi Riau, sudah lebih dari 2,6 miliar barrel!
Meski minyak bumi Riau meredup, bukan berarti sumbangan provinsi ini kepada Negara meredup pula. Belakangan, devisa yang disetor Riau dari minyak kelapa sawit, sudah bertengger di angka Rp48 triliun setahun.
Dan saban tahun pula, kebun kelapa sawit Riau yang saat ini mencapai 3,3 juta hektar, mampu menyerap sekitar 218,474 juta ton karbon dioksida (CO2) dan melepas sekitar 63,3 juta ton oksigen (O2).
Hitungan ini mengacu pada hasil penelitian Robert Henson, seorang ahli ekofisiologi asal Oklahoma City, Amerika Serikat yang 21 tahun lalu meneliti kelapa sawit di Malaysia.
Hasil penelitiannya itu kemudian dia rilis dalam sebuah jurnal berjudul 'The Rough Guide to Climate Change'.
Sebelumnya, waktu Indonesia baru hitungan hari lepas dari cengkraman Jepang, Sultan Syarif Kasim II menjadi sultan pertama yang bergabung dengan NKRI dan menyumbangkan duitnya sebanyak 13 juta Gulden kepada Negara.
Jumlah ini jauh lebih banyak dari sumbangan Sultan Yogya yang hanya sekitar 6,5 juta Gulden dan kemudian Yogya didapuk menjadi Daerah Istimewa.
Yang 13 juta Gulden tadi, belum termasuk harta-harta lain dan mahkota. Belum juga termasuk 30% dari hartanya yang pernah diserahkan kepada Presiden Soekarno untuk menghadapi agresi militer Belanda di Yogyakarta.
Adalah Tanwir Ayang, bekas pengurus Masjid Raya --- Masjid Alam --- Senapelan Pekanbaru pernah bercerita bahwa waktu penyerahan semua harta dan negara taklukannya di Yogyakarta, Sultan Syarif Kasim meminta dua hal kepada Presiden Soekarno.
Pertama; presiden musti membelikan sultan dua buah rumah; satu di Mekkah dan satu lagi di Madinah. Kedua; sultan juga meminta agar anak cucunya diperhatikan oleh Negara.
Jadi, kalau dihitung-hitung, sedemikian besar sudah sumbangan Riau kepada Negara. Lantas apa yang kemudian didapat oleh Riau?
Sampai sekarang belum ada cerita yang jelas soal apakah permintaan sultan itu dipenuhi oleh Presiden Soekarno atau tidak.
Yang pasti, meski sudah segunung Riau memberikan ke Negara, Riau sama sekali tidak pernah disematkan Daerah Istimewa layaknya Yogyakarta atau provinsi lain yang diistimewakan. Otonomi khusus pun tidak.
Yang didapat oleh Riau adalah klaim kawasan hutan sepihak oleh oknum penyelenggara Negara. Dibilang klaim sepihak lantaran sejak Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) 1986 sampai sekarang, kawasan hutan hanya ditunjuk lewat satelit dan peta nya dibikin berdasarkan satelit.
Padahal Undang-Undang nomor 5 tahun 1960 tentang pokok-pokok agraria dan UU 5 tahun 1967 tentang pokok-pokok kehutanan, yang namanya penunjukan kawasan hutan musti dilanjutkan dengan penataan batas.
UU 5 1967 wafat, UU 41 tahun 1999 tentang kehutanan juga memerintahkan itu pada pasal 15. Sebab di pasal 14 disebut bahwa kawasan hutan harus dikukuhkan untuk mendapat kepastian hukum.
Hanya saja, pasal itu tinggal pasal. Yang membikin aneh, pelanggaran pasal itu seolah-oleh mendapat dukungan.
Gara-gara klaim kawasan hutan sepihak tadi, saat ini ada sekitar 1,3 juta hektar kebun kelapa sawit berada dalam klaim kawasan hutan itu.
Belum lagi ratusan ribu masyarakat 'terpasung' lantaran desanya berada dalam klaim kawasan hutan tadi.
Celakanya, izin-izin konsesi yang diberikan juga mengikuti gaya klaim kawasan hutan tadi. Alhasil, mau itu hak orang atau tidak, asal sudah dalam klaim pemegang izin, rakyat harus minggat.
Kalau tak mau minggat, ya dipaksa minggat pakai aparat bersenjata. Padahal, lagi-lagi, izin tadi masih sebatas penunjukan yang musti dilanjutkan dengan penataan batas hingga penetapan.
Memang, ada juga perusahaan mengklaim sudah punya SK penetapan. Hanya saja, SK itu sering nongol setelah SK penunjukan keluar 10 tahun lalu. Padahal di SK penunjukan itu disebut bahwa penataan batas hingga pengukuhan wajib dilakukan paling lambat setahun.
Lagi-lagi dan lagi-lagi, perintah itu hanya tinggal perintah. Sebab dilanggar pun oleh pemegang konsesi, tak ada yang bisa menghukum. Gimana mau menghukum, si pemberi izin, perangainya sama saja.
Maka tak aneh kalau gara-gara klaim kawasan hutan sepihak itu, Gubernur Riau dan sejumlah bupati, harus mendekam di balik jeruji besi. Alamaaak...






Komentar Via Facebook :