Berita / Nasional /
Dana Seret, Biodiesel B50 Bakal Dibatasi PSO Saja
Jakarta, elaies.co - Pemerintah sedang menghadapi dilema besar terkait program biodiesel, terutama saat target mandatori dinaikkan ke level B50 atau campuran 50% minyak nabati (CPO) dengan 50% solar. Masalahnya, sumber dana untuk menopang program ini semakin menipis, sehingga subsidi biodiesel kemungkinan besar hanya akan difokuskan pada segmen Public Service Obligation (PSO) alias pelayanan publik.
Peneliti energi independen yang juga anggota Pusat Studi Ketahanan Energi Universitas Pertahanan, Akhmad Hanan, menilai jika pemerintah menekan ekspor crude palm oil (CPO) demi memastikan pasokan dalam negeri untuk B50, maka ruang untuk subsidi akan semakin sempit. “Tidak tertutup kemungkinan ada sistem kuota berbasis wilayah atau sektor, agar subsidi tidak bocor ke penggunaan nonprioritas,” jelasnya.
Selama ini, insentif biodiesel dibiayai dari pungutan ekspor (PE) CPO yang dikelola oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Artinya, jika ekspor ditekan, setoran pungutan otomatis ikut menurun. Kondisi ini jelas membuat pemerintah sulit menjaga kesinambungan subsidi biodiesel.
Menurut Akhmad, jika dana yang masuk ke BPDP makin seret, besar kemungkinan pemerintah harus menutup kekurangan lewat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). “Kalau sampai harus ditopang APBN, akan muncul tekanan baru, apalagi saat harga minyak dunia sedang tinggi,” katanya.
Ia menambahkan, alternatif lain adalah dengan mengubah formula pungutan ekspor menjadi tarif progresif. Dengan begitu, meski volume ekspor berkurang, ruang fiskal tetap tersedia untuk menjaga keberlanjutan program biodiesel.
Menekan ekspor CPO juga tidak lepas dari risiko besar di ranah perdagangan internasional. Indonesia bisa saja menghadapi protes dari mitra dagang utama seperti India, Uni Eropa, dan China, bahkan berpotensi digugat ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Selain itu, pembatasan ekspor bisa mendorong harga global CPO naik karena pasokan semakin terbatas. “Ironisnya, hal ini bisa menimbulkan backlash di perdagangan internasional,” tambah Akhmad.
Sementara itu, kebutuhan biaya produksi biodiesel memang semakin membengkak. Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Eniya Listiani Dewi, menyebutkan tahun ini ada tambahan alokasi penggunaan dana BPDPKS sebesar Rp16,8 triliun untuk menopang program B40 hingga Desember.
“Tidak ada dana tambahan dari pemerintah, hanya tambahan alokasi dari BPDPKS untuk menjamin keberlanjutan B40,” tegas Eniya.
Menurut data Kementerian ESDM, kebutuhan pendanaan biodiesel tahun ini mencapai Rp35,5 triliun, naik tajam dari realisasi Rp26,23 triliun pada 2023 ketika program masih di level B35. Lonjakan biaya ini terjadi karena dua hal: disparitas harga solar dan CPO yang semakin lebar, serta kenaikan pungutan ekspor CPO menjadi 10% yang ironisnya justru menekan setoran dana PE ke BPDPKS.
Dengan kondisi dana yang makin seret, subsidi biodiesel 2025 akan difokuskan hanya pada segmen PSO. Jumlahnya dipatok sekitar 7,55 juta kiloliter (kl) dari total target produksi B40 sebesar 15,6 juta kl tahun ini. Artinya, tidak semua sektor bisa lagi menikmati insentif. Subsidi hanya diberikan untuk kebutuhan publik yang benar-benar prioritas, seperti transportasi umum atau pelayanan vital lainnya.







Komentar Via Facebook :