Berita / Nasional /
Dan 'Masa Depan' Warga Eks Transmigrasi di Rohil itu pun Dirampas Klaim Kawasan Hutan
Priyono (tengah) dan Ketum Apkasindo, Dr. Gulat Medali Emas Manurung saat berada di lantai dua kantor perwakilan DPP Apkasindo di kawasan Arifin Ahmad Pekanbaru. Foto: ist
Pekanbaru, elaeis.co - Mata lelaki 51 tahun itu nampak nanar menatap jauh usai menceritakan harap yang dia bangun menjadi peserta program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) sejak hampir empat tahun lalu.
Status eks transmigrasi Perkebunan Inti Rakyat (PIR) lokal program pemerintah di tahun '80-an, umur tanaman kelapa sawit sudah hampir 40 tahun, Sertifikat Hak Milik (SHM) atas lahan, tak 'laku' untuk menjadi syarat PSR tadi. Inilah yang membikin ayah dua anak ini benar-benar nelangsa.
"Waktu mengajukan untuk ikut PSR, kebun saya dibilang berada dalam kawasan hutan, bingung saya, Pak," bergetar suara Priyono saat bercerita kepada Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Gulat Medali Emas Manurung, di kantor perwakilan DPP Apkasindo di kawasan jalan Arifin Ahmad Pekanbaru, dua hari lalu.
Warga Blok A Kepenghuluan Bhayangkara Kecamatan Bagan Sinembah Kabupaten Rokan Hilir (Rohil), Riau, makin blingsatan memikirkan nasib kebunnya setelah santer cerita hadirnya patok-patok kawasan hutan di sejumlah kepenghuluan di Rohil.
"Di Blok A sendiri, kebun yang dibilang kawasan hutan ada 40 hektar, milik 20 Kepala Keluarga (KK). Teman-teman yang lain sudah memilih mundur, tak mau lagi ikut PSR," cerita Nadzir Masjid Al-Falah Blok A ini, kepada elaeis.co kemarin.
Lantaran masih berharap lah kemudian Priyono bersama sejumlah pengurus DPD Apkasindo Rohil mau jauh-jauh menjumpai Gulat. "Saya masih berharap ikut PSR, Pak," lelaki ini memandangi Gulat yang kebetulan duduk di sampingnya.
Kepada elaeis.co kemarin, Ketua DPD Apkasindo Rohil, Tomy Sihombing cerita, orang yang senasib dengan Priyono di Rohil sangat banyak.
"Data sementara yang kami punya, Blok A dan Blok B (Kepenghuluan Bagan Sapta Permai) yang diklaim kawasan hutan mencapai 560 hektar. Lalu, PIR Khusus Paket I dan J Kepenghuluan Panca Jaya Kecamatan Bagan Sinembah Raya, dari 1600 hektar luas kebun sawitnya, separuh diklaim kawasan hutan," Tomy merinci.
"Yang membikin kami bingung, Pirsus itukan warga transmigrasi asal Pulau Jawa yang dikirim pemerintah tahun '80-an silam. Mereka kemudian dibina oleh PTPN V," tambahnya.
Di Kepenghuluan Koto Parit Kecamatan Simpang Kanan, Safi'i Ritonga juga kelimpungan setelah kebun sawitnya dipatoki kawasan hutan.
Padahal pengakuan bekas Penghulu Koto Parit, Bahagia Rambe, mayoritas lahan di kepenghuluan itu adalah lahan ber-SHM yang bekas program Smallholder Rubber Development Project (SRDP).
Lagi-lagi Gulat menarik napas panjang mendapati semua kenyataan itu. Kenyataan yang sebetulnya sudah pernah juga dilaporkan Tomy kepadanya.
Doktor ilmu agro-lingkungan Universitas Riau ini sangat menyayangkan cara-cara yang dilakukan oleh KLHK terhadap lahan-lahan milik masyarakat, khususnya, lahan warga eks transmigrasi yang jelas-jelas adalah program pemerintah.
"Sebelum Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) Riau ada pada 1986, mereka sudah ada di sana. Masak diklaim pula jadi kawasan hutan," rutuknya.
Ayah dua anak ini tak mempersoalkan KLHK membikin proyek gendut patok-patok kawasan hutan. "Silakan saja bikin proyek, tapi jangan di lahan masyarakatlah. Akan lebih baik patok-patok tadi dipasang di sekitar hutan yang masih ada, biar masyarakat tahu," katanya.
Auditor International of Merger and Aquisition (CIMA) ini juga menyayangkan lambannya lintas sektor menyikapi persoalan kawasan hutan ini.
Kelambanan yang justru membikin PSR yang notabene program prioritas Presiden Jokowi itu nyaris jalan di tempat.
"Persyaratan PSR itu sederhana sebenarnya. Kalau lintas kementerian dan lembaga mau saling kordinasi dan komandonya Kementerian Pertanian, beres itu. Kelompokkan persoalan yang ada, tengok urgensi syarat yang menghambat," urai auditor Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) ini.
Pakar hukum Universitas Islam Riau, Dr. Nurul Huda, SH.,MH, yang hadir di pertemuan itu juga menyayangkan kelakuan KLHK yang seenaknya memasang patok di kebun masyarakat.
“Sebetulnya, kalau kita merujuk pada UUCK, persoalan semacam ini sudah enggak ada lagi, sudah clear and clean. Tapi kenyataannya, masyarakat malah dibikin susah," katanya.
Omongan Nurul ini mirip dengan apa yang dibilang oleh Kadis Lingkungan Hidup dan Kehutanan Riau, Mamun Murod waktu jadi pembicara pada FGD Kolaboratif Penegakan Hukum di Kejaksaan Tinggi Riau pada Selasa pekan ini.
"Kalau mengacu pada UUCK, mestinya sawit yang tertanam sebelum tahun 2020 dengan luasan maksimal 5 hektar per kepala keluarga dan sudah dikuasai lebih dari 5 tahun, clear dari kawasan hutan," katanya.
Balik ke cerita pertemuan di kantor perwakilan DPP Apkasindo tadi, Sekjen DPP Apkasindo, Rino Afrino yang duduk tak jauh dari Gulat akhirnya mengatakan begini; Kami berjanji akan menindaklanjuti persoalan ini ke KLHK. Soalnya yang semacam ini sudah dibahas juga tempo hari bersama ATR/BPN dan KLHK.







Komentar Via Facebook :