Berita / Lingkungan /
Cerita Tak Sedap PSDH Kayu Alam
Kayu alam yang diangkut tongkang di muara sungai Siak, Riau. foto: aziz
Jakarta, elaeis.co - Adalah data tahun 2017 menyebutkan kalau produksi kayu bulat yang bersumber dari hutan alam mencapai 5,4 juta meter kubik.�
Lalu, produksi kayu bulat yang bersumber dari hutan tanaman mencapai 37,8 juta meter kubik. Dari total kayu ini, Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) yang didapat Rp917,6 miliar.�
Adalah Guru Besar Ilmu Kebijakan Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof. Sudarsono Soedomo yang kemudian penasaran dengan hitung-hitungan itu.�
Dibilang penasaran lantaran duit itu dia anggap terlalu kecil. Lelaki 64 tahun ini juga heran kenapa produksi hutan tanaman cuma sebanyak itu sementara izin yang sudah dikantongi korporasi sudah mencapai 11,1 juta hektar.�
Dia kemudian mencoba menghitung ulang PSDH itu pakai Pemerintah (PP) nomor 12 tahun 2014 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Kementerian Kehutanan dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) nomor 64 tahun 2017 tentang Penetapan Harga Patokan Hasil Hutan untuk Perhitungan Provinsi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Ganti Rugi Tegakan.�
Pada PP 12 2014 kata Sudarsono, tarif PSDH adalah 10% dari harga patokan. Harga patokan dihitung berdasarkan Permenhut 64/2017.�
Kalau mengikuti dua aturan itu kata Sudarsono, asumsi harga patokan rata-rata kayu bulat hutan alam dan hutan tanaman masing-masing Rp750 ribu dan Rp140 ribu per meter kubik.
"Dari data dan asumsi tadi, PSDH yang diperoleh negara sekitar Rp934,7 miliar. Miriplah dengan PSDH yang dilaporkan itu,selisih sekitar Rp17 milyar. Masih sangat wajar. Soalnya perhitungan saya sangat kasar," katanya saat berbincang dengan elaeis.co kemarin.�
Tapi harga patokan kayu bulat itu menurut Sudarsono sangat kecil, soalnya di tahun itu, harga kayu bulat dari hutan alam saja rata-rata sudah di atas Rp1,5 juta per meter kubik.�
"Kalau mengacu pada Rp1,5 juta itu, maka pada tahun 2017 negara sudah ngasi duit cuma-cuma kepada pemegang izin sekitar Rp405 milyar. Tapi kalau acuan harga di atas Rp1,5 juta per meter kubik, maka duit cuma-cuma itu lebih bengkak lagi. Artinya, kerugian negara semakin bengkak," katanya.�
"Apa benar sungguh-sungguh gratis? Well, whatever the case, we know there is no free lunch (Ya, apapun masalahnya, kita tahu enggak ada makan siang gratis," tambahnya datar.
Terkait hutan tanaman tadi, kalau memakai asumsi produksi perhektar 125 meter kubik dengan daurnya 6 tahun, akan teramat mudah dihitung; luas total tanaman dikurang luas total tebangan.�
Kalau produksi kayu bulat hutan tanaman itu sekitar 37,8 juta meter, berarti luas tebangan hanya 302 ribu hektar.�
"Lantaran daurnya 6 tahun, luas total hutan tanaman di lapangan adalah 1,8 juta hektar," Sudarsono merinci.�
Pada 1984 silam kata Sudarsono, IPB University sudah pernah menggelar seminar nasional pembangunan hutan tanaman.�
"Tahun 2017 lalu, begitulah hasilnya. Padahal izin yang diberikan sudah mencapai 11,1 juta hektar. What are you doing guys?" lagi-lagi Sudarsono bertanya.
Sudarsono kemudian meminta supaya Badan Pemerinksa Keuangan (BPK) mengaudit seperti apa harga patokan itu dibikin.��
Elaeis.co masih berusaha meminta penjelasan �terkait hitung-hitungan Sudarsono ini kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
�







Komentar Via Facebook :