https://www.elaeis.co

Berita / Nusantara /

Cerita Sederet Pabrik Sawit Pembangkang di 'Bumi Anging Mammirik'

Cerita Sederet Pabrik Sawit Pembangkang di

Surat Kadis TPH-BUN Sulsel kepada pabrik kelapa sawit di wilayah itu. foto: ist


Jakarta, elaeis.co - Kalau Imran Jausi jengkel dan kemudian melontarkan ancaman bakal mengeluarkan rekomendasi agar izin 8 pabrik kelapa sawit di Sulawesi Selatan (Sulsel) dicabut, agaknya wajar-wajar saja. 

Soalnya, sudah dua kali Kepala Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura dan Perkebunan (DTPH-BUN) Provinsi 'Anging Mammirik' ini melayangkan surat peringatan, tapi tak digubris.

Utusan perusahaan yang diminta datang dan membawa hitung-hitungan 'Indeks K' untuk kepentingan rapat penetapan harga Tandan Buah Segar (TBS), tak datang semua. 

Yang paling celaka di akhir bulan lalu, tak satupun perusahaan datang untuk rapat. Hanya dua perusahaan yang menitip 'Indek K'.

Akibatnya, DTPH-BUN Sulsel terpaksa memakai harga penetapan bulan sebelumnya, sebagai acuan harga di bulan Oktober itu. Kebetulan pula harga itu rendah, tak mencerminkan harga Crude Palm Oil (CPO) terkini. 

Kejadian inilah yang kemudian membikin Imran melayangkan surat peringatan ketiga, pada tiga hari lalu. 

"Kalau surat teguran ketiga ini tidak ditanggapi, maka kami akan memberikan rekomendasi surat pencabutan izin usaha," tulis lelaki 59 tahun ini dalam suratnya bernomor 525/6389/DTPH-BUN itu. 

Apa yang dirasakan oleh Imran, sebenarnya nyaris terjadi di semua provinsi sentra sawit yang ada di Indonesia. 

Malah gara-gara kepembangkangan pabrik kelapa sawit itu pulalah Kejaksaan Tinggi (Kejati) Riau sampai-sampai membikin program Jaga Zona Pertanian, Perkebunan dan Perindustrian (Jaga Zapin). 

Supardi yang saat itu Kepala Kejati Riau sekaligus penggagas Jaga Zapin ini, kemudian menggandeng Polda Riau dan bupati kabupaten penghasil sawit yang ada di Riau untuk memelototi pabrik kelapa sawit menetapkan harga beli, potongan segala tetek bengek yang mempegaruhi harga TBS di provinsi dengan luasan kebun sawit terbesar di Nusantara itu. Mencapai 4,72 juta hektar.   

Sambil memelototi, Tim Jaga Zapin juga mencari tahu apa kelemahan model penetapan harga TBS yang ada. Eee..rupanya justru Peraturan Menteri Pertanian Nomor 1 Tahun 2018 tentang Pedoman Penetapan Harga Pembelian TBS Produksi Pekebun itu yang lemah. Banyak celah yang bisa dipakai oleh PKS untuk mengakali harga. 

Singkat cerita, kinerja Tim Jaga Zapin mulai terasa. Harga TBS petani naik signifikan. Penetapan Harga TBS Mitra Swadaya pun dibikin. Pertama di Indonesia. 

Keberhasilan ini pun menyebar kemana-mana hingga kemudian memantik Mahmuddin, seorang pegiat petani sawit di Sulsel bikin status di media sosial yang bunyinya begini; Tiga bulan terakhir, keputusan rapat TBS hanya sekadar kertas berstempel dan Pemprov Sulsel sudah dikangkangi korporasi PKS. Kami berharap Pak Ketum DPP APKASINDO dan Ketua DPW APKASINDO Sulsel bisa segera berkoordinasi dengan Kejagung RI dan Satgas Pangan Pusat supaya memerintahkan Kejati Sulsel dan Polda Sulsel untuk ikut dalam rapat harga TBS yang dilaksanakan setiap bulan, seperti yang sudah dilakukan di Riau. Kami cemburu dengan Riau, semua APH nya kompak memonitor ekonomi kelapa sawit dan petani sawitpun terjaga.

Gayung bersambut. Ketua Umum DPP Apkasindo, Gulat Medali Emas Manurung langsung menyerukan agar Satgas Pangan segera datang ke Sulsel.

Lelaki 52 tahun ini punya alasan yang kuat menyerukan itu. Sebab belum lama ini Presiden Jokowi telah menginstruksikan supaya pejabat daerah termasuk Kejaksaan, Kepolisian dan TNI dari agar bahu membahu menekan laju inflasi di daerah masing-masing. 

"Kelakuan PKS di Sulsel itu adalah salah satu bentuk pembangkangan dan sudah merusak perekonomian masyarakat. Ini sudah menjadi bukti permulaan melawan hukum. Satnya APH turun tangan," katanya.

Dan pelanggaran penetapan harga TBS yang terjadi di Sulsel menurut Gulat, telah menjadi bukti bahwa Permentan 01 sudah tak cocok lagi dengan kondisi sekarang dan musti segera direvisi. 

Ayah dua anak ini tegas-tegasan meminta agar jangan ada lagi omongan yang mengaku pakar bahwa Permentan 01 itu sangat sempurna. 

"Hanya kitab suci yang tidak boleh direvisi. Kalau masih juga ngomong kayak begitu, kami akan laporkan ke Mabes Polri dan Kejagung. Stop! Kami sudah cukup menderita,” pinta doktor agro-ekosistem Universitas Riau ini.



 

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Komentar Via Facebook :