https://www.elaeis.co

Berita / Sumatera /

Cerita Perut dan Hutan Alam

Cerita Perut dan Hutan Alam

Ketua DPD Apkasindo Kampar, Helkis, saat menyusuri Sungai Subayang yang meliuk di antara perbukitan Kawasan Suaka Marga Satwa Bukit Rimbang Bukit Baling. Foto: Dok. Pribadi


Pekanbaru, elaeis.co - Masih jelas dalam benak Helkis �tentang apa yang menjadi keluhan masyarakat yang berada di sekitar kawasan Suaka Marga Satwa Bukit Rimbang Bukit Baling Kecamatan Kampar Kiri Hulu, Kabupaten Kampar, Riau itu.�

Bulan lalu, kebetulan Koordinator Program Keluarga Harapan (PKH) ini bertandang ke Desa Pangkalan Serai.�

Di sana, warga di desa berpenduduk sekitar 514 jiwa itu mengeluh lantaran penghasilan mereka dari karet sangat tidak mencukupi.

"Harga karet waktu itu cuma sekitar Rp6 ribu. Sangat enggak cukup untuk menopang kehidupan mereka," cerita ayah tiga anak ini saat berbincang dengan elaeis.co di Pekanbaru, kemarin.�

Kalau terus-terusan hidup masyarakat di sana seperti itu kata Ketua DPD Asosiasi Petani Kelapa sawit Indonesia (Apkasindo) Kampar ini, bukan tidak mungkin hutan di kawasan suaka marga satwa yang ada di sana jadi sasaran.�

"Kita enggak bisa menyalahkan mereka jika itu terjadi. Sebab mereka juga butuh hidup. Kalau misalnya harga karet masih seperti dulu, di kisaran Rp28 ribu perkilogram, masyarakat enggak akan terpikir untuk mengganggu hutan. Sebab perut mereka sudah kenyang oleh harga karet tadi," kata lelaki 34 tahun ini.

Sebelum pembalakan liar benar-benar terjadi secara masif kata Helkis, ada baiknya pemerintah, khususnya pemerintah pusat, melek dengan nasib masyarakat di sekitar kawasan hutan itu.�

"Enggak hanya Desa Pangkalan Serai yang mengalami nasib seperti itu, tapi juga sejumlah desa tetangga yang ada di sana," terangnya.�

Apa yang dikatakan Helkis setali tiga uang dengan apa yang pernah diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI), Tungkot Sipayung.�

Lelaki 55 tahun itu menyebut bahwa keterkaitan antara kemiskinan masyarakat di sekitar hutan dengan kelestarian hutan di berbagai negara sudah lama menjadi perhatian para ahli.

"Kemiskinan masyarakat di sekitar hutan akan memicu terjadinya perambahan hutan, illegal logging, illegal hunting, deforestasi yang ujung- ujungnya mengancam kelestarian hutan," katanya.

Berbagai studi yang dilakukan FAO, akademisi maupun NGO di negara-negara Afrika, Asia hingga Amerika Selatan kata Tungkot membuktikan bahwa kemiskinan masyarakat di sekitar hutan adalah penyebab terjadinya deforestasi.

Gempuran pada hutan makin intensif dan kerusakan hutan makin parah di saat pemodal kemudian memanfaatkan kemiskinan masyarakat di sekitar�hutan membiayai dan menampung hasil illegal logging.�

"Yang semacam ini juga banyak dijumpai di Indonesia. Termasuklah yang di Desa Pangkalan Serai itu," ujarnya. �

Saat ini kata Tungkot, ada sekitar 3,2 juta hektar sawit rakyat yang diklaim dalam kawasan hutan.�

"Kalau kemudian sawit rakyat itu digusur, penggempuran hutan oleh masyarakat sekitar hutan akan kembali terjadi. Cukong kayu akan memanfaatkan situasi masyarakat yang pada akhirnya akan membikin deforestasi massif terjadi lagi," katanya.�

Kalau sudah seperti ini, kerugian ekonomi, sosial dan ekologis yang lebih besar dan lebih luas akan terjadi.�

"PASPI hanya berpesan, ada baiknya pemerintah, khususnya KLHK hati-hati dan lebih bijaksana menyelesaikan kebun sawit rakyat yang diklaim�dalam kawasan hutan. Sebab jika salah urus, maksud hati melestarikan hutan, yang terjadi malah deforestasi massal," Tungkot mengingatkan.



BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Komentar Via Facebook :