https://www.elaeis.co

Berita / Sumatera /

Carut Marut Peremajaan Sawit Rakyat di Kabupaten Bengkalis

Carut Marut Peremajaan Sawit Rakyat di Kabupaten Bengkalis

Perkebunan kelapa sawit.


Pekanbaru, elaeis.co - Badraini bingung tujuh keliling. Sebagai ahli perbankan yang malang melintang di dunia keuangan, baru kali ini dia merasa tersudutkan.

Kepala Cabang Pembantu Bank Riau Kepulauan Riau Sungai Pakning, Kecamatan Bukit Batu, Bengkalis, Riau itu diserang secara verbal. Bahkan dia merasa nyaris tak punya ruang untuk bersuara.

Dalam sebulan terakhir, "teror" yang berawal dari sikap hati-hatinya, sesuai naluri pakar keuangan justru berujung petaka. Ancaman verbal oknum perusahaan rekanan sejumlah petani yang sedang menjalani program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) hingga diberitakan miring di media daring menjadi tantangan yang harus ia selesaikan. 

"Enggak hanya diancam, saya malah diberitakan di sejumlah media online dengan bahasa macam-macam. Bahkan untuk menakut-nakuti, oknum itu bilang kalau dia timnya Jokowi lah, orang dekatnya Jenderal (Purn) Moeldoko lah. Padahal kami murni menjalankan aturan Bank. Sebab kalau sempat ada yang salah, kami yang akan bermasalah dengan hukum," kata Badraini.

Persoalan yang dihadapi pria itu berawal pada 17 April 2020 lalu. Dia mengatakan Bank plat merah milik Provinsi Riau dan Kepulauan Riau itu baru mendapatkan dana PSR dicairkan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) ke BRK Capem Sei Pakning.

Kebetulan, untuk PSR di Riau, bank milik Pemerintah Provinsi Riau ini ditunjuk oleh BPDPKS sebagai salah satu bank penyalur.

Dana cair, BRK kemudian mengumpulkan para ketua kelompok tani swadaya mandiri peserta PSR itu untuk rapat. Ini memang murni Petani swadaya, jadi administrasinya harus kami kawal jangan sampai ada yang salah, beda dengan Petani Plasma yang tentunya ada Perusahaan Inti yang membina.

Badraini pun mengusulkan agar program dilanjutkan usai Idul Fitri 2020 mengingat situasi tidak menentu akibat Corona. Untuk mengisi kekosongan, dia pun menyarankan agar melakukan studi banding ke Rokan Hilir, Riau yang terlebih dahulu melaksanakan PSR.

"Termasuk juga kita belajar ke BRK yang sudah jalan PSR nya, biar nambah ilmu kita. Soal biaya ke sana, biar BRK yang menanggung," kata Badraini menyodorkan usul dan para ketua kelompok tani setuju saat itu.   

Sepekan kemudian, keanehan muncul, kelompok tani datang menyodorkan pencairan down payment sebesar 50 persen untuk belanja bibit siap tanam. "Di sinilah kami baru tahu kalau kelompok tani diam-diam sudah menjalin kerjasama dengan oknum perusahaan tertentu. Alasan permintaan dana 50 persen tadi untuk membeli bibit. Padahal saat kami cek ke lapangan, pekerjaan sama sekali belum mulai. Batang kelapa sawit yang mau direplanting pun masih tegak meskipun tidak banyak lagi karena sudah banyak mati karena tua atau rusak," cerita Badraini. 

Uniknya lagi kata Badraini, pembelian bibit di-sub-kan ke perusahaan lain yang masih satu group dengan oknum perusahaan rekanan. "Duit diminta ditransfer ke perusahaan rekanan, bukan ke perusahaan penyedia bibit. Setelah kami cek lagi, ternyata harga bibit dalam MoU antara kelompok tani dan perusahaan rekanan Rp49 ribu. Sementara harga normal hanya Rp38 ribu. Bibit yang akan dibayar sebanyak 32 ribu batang," ujar Badraini.

Melihat banyak kejanggalan itu, BRK kata Badraini menunda untuk pembayaran. �Ini untuk kebaikan semua pihak, khususnya kelompok-kelompok tani. Tapi gara-gara penundaan itu pulalah oknum perusahaan rekanan tadi marah-marah dan kemudian saya diintimidasi," katanya.

Di BRK Capem Sei Pakning kata Badraini, ada 11 kelompok tani swadaya penerima dana PSR. Total luas lahan kelompok tani ini mencapai 324 hektar.

Dosen Pertanian Universitas Riau, Dr. M. Amrul Khoiri pun angkat bicara. Secara tegas, dia meminta Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDKPS) turun tangan untuk mengusut sengkarut program peremajaan sawit rakyat di Kecamatan Bukit Batu, Kabupaten Bengkalis, Riau yang diduga melibatkan perusahaan secara monopoli.

Dosen Agronomi Fakultas Pertanian Universitas Riau Dr Amrul Khoiri di Pekanbaru mengatakan dia telah mendata program peremajaan sawit rakyat (PSR) di Riau. Sebagai peneliti, dia menuturkan pengerjaan PSR mayoritas ditangani oleh sebuah perusahaan yang sama.

Kondisi serupa juga terjadi di sejumlah provinsi lainnya, termasuk Sumatera Utara dan Sumatera Barat. Dia menilai bahwa hal itu sama dengan upaya monopoli. Padahal, kata dia, perusahaan yang menangani PSR haruslah menguasai seluruh bidang ilmu pertanian serta memiliki peralatan yang lengkap, termasuk alat berat.

"Saya sudah mendata PSR yang ada di Riau ini sejak tahun lalu. Ini tugas saya sebagai peneliti. Hasilnya, PSR di Riau ternyata dikerjakan oleh perusahaan rekanan yang itu ke itu saja, hal yang sama juga terjadi di Sumatera Utara, Sumatera Barat dan beberapa provinsi lain,� katanya.

"Apa iya dia sanggup mengerjakan sekaligus? Kualitas pekerjaannya seperti apa? Sebab ini menyangkut ketersediaan tenaga ahli terkait agronomis, hama dan tanah. Perusahaan rekanan PSR hal ini ada juga kaitannya dengan Sertifikasi ISPO," ujar pria berkacamata itu.

Untuk itu, dia akan meminta kepada BPDPKS segera menurunkan tim dan melakukan pengusutan terkait hal tersebut. Amrul juga mengingatkan jika jauh hari Presiden Jokowi sudah mewanti-wanti supaya PSR benar-benar dijalankan dengan baik, lantaran proyek ini adalah kepentingan petani.

Lebih jauh, Amrul juga menegaskan bahwa pengadaan bibit melewati mekanisme yang sangat ketat. Hal itu tertuang dalam regulasi PSR nasional. Semua harus berasal dari Produsen resmi yang sudah di SK kan oleh Kementan dan ditunjuk produsen serta disertifikasi oleh Balai Benih setempat. "Biar bibit benar-benar terjamin F1 Tennera dan harganya tidak dimain-mainkan," tutur Amrul.

Petani yang ada di Sei Pakning itu kata Amrul adalah petani swadaya murni pertama di Riau yang mendapat PSR, �Jadi harus kita kawal supaya bisa menjadi penyemangat bagi petani swadaya lain,� katanya.

Masalah anggaran biaya persatuan hektar juga kata Amrul menjadi fokus perhatian mereka, supaya jangan memberatkan Petani, sebab kekurangan dari Rp25 juta per hektar --- bantuan BPDPKS  --- itu harus dihutang petani ke bank mitra PSR. �Misalnya kalau total biaya PSR per hektarnya Rp55 juta, maka kekurangannya yang Rp 30 juta harus dihutang petani ke bank mitra PSR. Jadi semakin berhemat RAB PSR, dengan tanpa mengurangi faktor Good Agriculture Practise (GAP), maka semakin sedikit hutang petani di bank,� terangnya.

Petani yang ada di Sei Pakning itu kata Amrul adalah petani swadaya murni pertama di Riau yang mendapat PSR, �Jadi harus kita kawal supaya bisa menjadi penyemangat bagi petani swadaya lain,� katanya.

Di sisi lain, anggota Dewan Pakar DPP Apkasindo yang membidangi hukum, DR. M. Nurul Huda, SH.,MH  mengingatkan supaya BRK Capem Sei Pakning tidak main-main soal program PSR yang ada.

"Saya minta pencairan dana oleh perusahaan rekanan PSR tidak dipersulit. Kalau ada dokumen pencairan yang kurang atau kejanggalan permohonan pencairan uang, segera disampaikan ke pendamping kelompok tani supaya dicrosscheck. Yang pasti saya setuju dan mendorong BRK supaya selalu hati-hati, bersikap adil dan terbuka," ujar Nurul.

Nurul memastikan, pihaknya akan menempuh upaya hukum jika benar ada kejanggalan dan cenderung merugikan petani sawit peserta PSR. "Kami tidak melihat sepihak, Apkasindo berdiri di tengah, semua pekerjaan PSR, khususnya di Riau, akan kami audit secara internal dulu,� tegasnya.

Di Apkasindo kata Nurul ada 8 orang yang sudah bersertifikat Auditor ISPO, jika ada temuan pidana, tentu sebagai Dewan Pakar Bidang Hukum dan Advokasi, �Saya merekomendasikan kepada Ketua Umum DPP Apkasindo segera membentuk tim investigasi untuk melihat dan menghitung potensi kerugian materil yang  akan dan sudah terjadi di wilayah BRK Capem Sei Pakning itu," pintanya.

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Komentar Via Facebook :

Berita Terkait :