Berita / Lingkungan /
Burung Hantu Sahabat Petani Sawit, Musuhnya Tikus
Burung hantu kecil bernama latin Athena noctua (SHUTTERSTOCK/Milan Zygmunt
Jakarta, elaeis.co - Burung serak jawa (tyto alba) lebih dikenal umum sebagai “burung hantu”. Perilakunya yang aktif pada malam hari (nokturnal) dan terkadang mengeluarkan suara yang tidak biasa saat terbang inilah yang menyebabkan nama burung hantu. Burung itu memiliki wilayah persebaran di hampir semua benua, kecuali Antartika.
Serak jawa atau T. alba pertama kali dideskripsikan oleh Giovani Scopoli pada tahun 1769. Nama penunjuk spesies alba mengacu pada warna bulunya yang putih (Lewis, 2020). Dikutip dari laman Ditjenbun Kementan RI.
Burung hantu itu memiliki ciri morfologi yang berukuran besar, yaitu berkisar antara 32-40 cm dengan warna bulu putih, coklat muda pada bagian sayap dan puncak kepala. Wajah berbentuk hati, kaki jenjang dengan cakar, serta paruh berwarna putih kekuningan yang membengkok ke bawah.
Serak jawa merupakan salah satu burung predator atau burung pemangsa yang dapat memangsa kelompok burung dan mamalia kecil. Salah satu hewan yang umum dijadikan mangsa oleh serak jawa adalah tikus (rattus spp).
"Kami sering melihat burung hantu di kebun sawit. Tapi tidak kami usir, dia pergi sendiri. Kadang-kadang seram juga melihatnya. Tapi tikus jarang terlihat di kebun kami sejak ada burung hantu," ujar Sri, petani sawit di Pelalawan kepada elaeis.co Jumat (8/4).
Menurut data serangan Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) perkebunan yang dihimpun oleh Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, selama periode tahun 2016-2021, tikus telah menyerang beberapa komoditas perkebunan seperti kakao, kapas, kelapa, kelapa sawit, dan tebu dalam 3 tahun terakhir.
Kelapa sawit menjadi salah satu komoditas yang terus mendapat serangan tikus selama 6 tahun berturut-turut. Total serangan tikus pada komoditas kelapa sawit pada periode tahun 2016-2021 dapat mencapai ratusan ribu hektar.
Hal tersebut dapat mengurangi laju produksi maupun produktivitas pada komoditas perkebunan. Sehingga pengendalian terhadap tikus perlu dilakukan untuk menekan pengurangan laju produksi dan produktivitas tersebut.
Berdasarkan penelitian Wood & Liau (1984) populasi tikus dalam suatu perkebunan kelapa sawit dapat mencapai 537 ekor dalam satu hektar dan menurut Dhamayanti (2009) rata-rata jumlah pohon kelapa sawit dalam satu hektar dapat mencapai 130 batang. Sehingga populasi tikus pada tiap batang kelapa sawit sejumlah 4 ekor.
Sipayung, dkk (1987) dalam penelitiannya menyatakan bahwa seekor tikus dapat memakan buah kelapa sawit berkisar antara 5,5-13,6 gram per hari. Dengan asumsi ambang batas ekonomi pada komoditas kelapa sawit sebesar 5%, maka batas jumlah pohon kelapa sawit terserang tikus yang dapat ditoleransi sejumlah 7 batang dalam satu hektar.
Kisaran kehilangan produksi buah akibat tikus dapat ditaksir menggunakan penghitungan jumlah tikus/hektare (ekor) dikali kisaran konsumsi tikus/hari (gr) dikali 365, kemudian hasil penghitungan tersebut dibagi 1000.
Hasil penghitungan kisaran kehilangan hasil produksi buah akibat tikus berkisar antara 56,21-138,992 Kg/Ha/Tahun.
Umumnya pengendalian tikus dapat dilakukan dengan memasang jerat di sekitar jalur yang biasa dilewati tikus untuk mencari makan.
Selain melakukan pengendalian secara mekanis, pengendalian menggunakan musuh alami seperti serak jawa dapat dijadikan sebagai alternatif.
Pemanfaatan serak jawa dalam pengendalian tikus telah dilakukan di beberapa tempat seperti Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Kabupaten Ngawi, Jawa Timur.
Serak jawa dinilai menjadi salah satu predator yang andal dan potensial. Kelebihan serak jawa dalam mendeteksi mangsa terdapat pada indra pendengarannya yang sensitif.
Suara gesekan yang ditimbulkan oleh tikus dengan tanaman di sekitarnya cukup bagi serak jawa untuk menentukan lokasi dan segera menyambar buruannya. Jumlah buruan yang dihasilkan dapat mencapai 5 ekor dalam satu malam.
Petani di Desa Wringinrejo, Kabupaten Banyuwangi umumnya melakukan cocok tanam pada komoditas serealia, aneka kacang, dan umbi.

Komentar Via Facebook :