Berita / Lingkungan /
Bursa Karbon, Opo Iki?
Senja dengan latar belakang pohon. foto: aziz
Jakarta, elaeis.co - Bursa Karbon. Belakangan, bisnis yang satu ini jadi omongan banyak orang di Indonesia setelah diluncurkan pada Selasa pekan lalu.
Di dalam negeri, bisnis ini boleh dibilang masih baru meski aturan mainnya telah dibikin oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sejak September tahun lalu dan Peraturan Presiden nomor 98 tentang itu, malah sudah ada sejak dua tahun lalu.
Pada pasal 5 ayat 1 Permen LHK bernomor 21 tahun 2022 tentang tata laksana penerapan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) itu disebutkan, bahwa perdagangan karbon, baik di dalam maupun luar negeri bisa dilakukan melalui mekanisme; perdagangan emisi (cap and trade) dan pengimbangan emisi (carbon offset).
Cap and Trade sendiri adalah perdagangan karbon antar dan lintas sektor. Menteri tiap sektor menetapkan batas emisi (cap) yang boleh diproduksi oleh tiap pelaku usaha.
Mereka yang memproduksi emisi lebih dari batas itu, wajib membeli kelebihannya kepada mereka yang memproduksi emisi lebih rendah dari batas tersebut.
Sementara, Carbon Offset sendiri adalah pengimbangan emisi untuk sektor yang tak memiliki kuota. Mereka yang memproduksi emisi lebih besar dari baseline, bisa membeli kelebihan emisi itu kepada mereka yang menyediakan usaha penyerapan karbon.
Ada 5 sektor --- energi, limbah, proses industri dan penggunaan produk, pertanian, kehutanan --- serta 12 subsektor --- pembangkit, transportasi, bangunan, limbah padat, limbah cair, sampah, industri, persawahan, peternakan, perkebunan, kehutanan, pengelolaan gambut dan mangrove --- yang masuk dalam Aksi Mitigasi Perubahan Iklim (AMPI) melalui penyelenggaraan NEK ini.
Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI), Tungkot Sipayung cerita, landasan ekonomi yang melandasi carbon trade itu adalah teory ekonomi lingkungan; Polluters Pay Principle (PPP).
"Prinsip teori ini dipakai sebagai salah satu mekanisme untuk menurunkan emisi global. Menurut teori ini, siapa yang menghasilkan emisi (polusi) yang lebih tinggi (meningkat), harus membayar kepada mereka yang tidak atau emisinya berkurang. Kata “siapa” di sini bisa saja individu, perusahaaan, sektor bahkan negara," kata lelaki 58 tahun ini saat berbincang dengan elaeis.co pekan lalu.
Mekanisme pembayaran yang semacam ini kata Tungkot, bisa melalui carbon trading dan bisa pula perdagangan langsung.
Adapun contoh perdagangan itu antara lain; katakanlah hasil baseline, didapati bahwa emisi perusahaan A adalah 15 unit carbon, perusahaan B 10 unit carbon.
Setelah setahun (tidak harus satu tahun) dan setelah diverifikasi regulator, emisi perusahaan A ternyata meningkat menjadi 20 unit karbon dan perusahaan B, lantaran mengadopsi teknologi hemat emisi, emisinya justru berkurang menjadi 5 unit carbon.
Dalam konteks ini perusahaan A bisa membeli 5 unit carbon dari perusahaan B melalui perdagangan langsung atau melalui bursa carbon.
Kalau carbon trade terjadi, maka status akhir emisi perusahaan A kembali ke 15 unit dan perusahaan B juga kembali 10 unit.
Untuk menetapkan tinggi rendahnya emisi itu, bisa dilakukan menggunakan metodologi perhitungan emisi. Misalnya pakai Life Cycle Analysis (LCA).
LCA sendiri adalah sebuah pendekatan yang dipakai untuk menganalisa suatu produk lingkungan selama siklus hidup produk itu.
Setelah ketahuan status awal (baseline) emisi perusahaan, itu kemudian ditetapkan oleh regulator (pemerintah).







Komentar Via Facebook :