https://www.elaeis.co

Berita / Pojok /

BUMN (dan Swasta) Perkebunan Akan Bangkrut, Jika..

BUMN (dan Swasta) Perkebunan Akan Bangkrut, Jika..

Prof. Agus Pakpahan. Foto: Ist


Judul lengkap di atas sebenarnya; BUMN (dan Juga Swasta) Perkebunan Akan Bangkrut Dengan Sendirinya Jika Tidak Efisien Beroperasi dan Tidak Inovatif. Kenapa?�

Kalau kita mau sedikit belajar, jawaban sebenarnya sangat sederhana. Pertama, jika korporasi bekerja tidak efisien pada komoditas pertanian ---� termasuk komoditas perkebunan seperti kelapa sawit ---� yang selama 100 tahun terakhir trend harga riilnya terus menurun dan trend biaya yang meningkat, maka margin keuntungan yang diperoleh akan semakin kecil.��

Biaya akan lebih besar dari pada harga jual. Artinya, perusahaan sudah mengalami kerugian.�

Secara agregat, laju penurunan harga riil komoditas pertanian di pasar dunia berada di kisaran 1% pertahun. Perkembangan harga-harga riil komoditas perkebunan hingga tahun 2030 --- seperti yang diramalkan oleh Bank Dunia --- juga tidak banyak berkembang ke arah yang menggembirakan.�

Kalau mengacu pada angka di atas, perusahaan yang ingin selamat dari kerugian tentu harus bisa melakukan penurunan biaya riil pertahun lebih besar dari 1%. Tapi kenyataan yang ada justru peningkatan biaya rill komoditas pertanian terus terjadi.��

Apa yang musti dilakukan untuk menurunkan biaya riil ini? Lakukan Research And Development (R&D). R&D di bidang manajemen misalnya. Pada tingkat penerapan teknologi yang sama, bisa ditemukan cara kerja yang lebih efisien.�

Hanya saja banyak ditemukan keengganan untuk sedikit saja meningkatkan pengetahuan melalui pengumpulan dan pengolahan data lapangan demi perbaikan efisiensi itu. Misal pada pemupukan.�

Alhasil, kegilaan yang disebut oleh Einstein pun terjadi. Menerapkan cara yang sama untuk mendapatkan hasil yang berbeda, yang didapat justru tingkat inefisiensi yang makin tinggi, yang justru akan mempercepat proses kerugian perusahaan.��

Korporasi perkebunan pada umumnya membiayai korporasinya dengan meminjam uang dari perbankan atau sumber pembiayaan lain. Pada saat kita bicara pinjaman uang, maka biayanya dinyatakan dalam bunga pinjaman.��

Hukum uang ini karakternya bertentangan dengan hukum ekonomi. Apabila perilaku trend harga komoditas perkebunan di pasar dunia adalah terus menurun --- sebagai hasil kerja permintaan dan penawaran yang diatur oleh proses institusi di baliknya --- maka untuk bunga bank perilakunya adalah bunga-berbunga. Inilah yang sering saya sebut dengan hukum uang.

Bunga itu terus berjalan --- apakah lantaran peminjamnya rajin, malas, peduli, sakit, atau terjadi apa saja dengannya.�

Bagaimana perilaku bunga ini? Kalau dalam hukum ekonomi berlaku the law of diminishing return, maka dalam hukum uang terjadi pergerakan yang sifatnya eksponensial sebagai akibat dari digunakannya formula bunga-ber-bunga tadi.�

Artinya, dengan dikenakannya tingkat bunga tertentu, sejalan dengan waktu, maka tingkat pengembaliannya pun makin tinggi.�

Mari kita simak sekilas perilaku hukum uang ini. Misalkan bunga bank � % per tahun, pinjaman Rp1.0. Dalam berapa tahun nilai utang dengan bunga itu akan menjadi dua kali jumlah pinjaman (menjadi Rp 2.0). Pada tahun ke -20, nilai pinjaman mencapai Rp 1.34.� �

Sekarang, mari kita coba hitung dalam berapa tahun pinjaman Rp1.0 menjadi Rp 2.0 jika bunga 12.0%.�

Tabel bunga-berbunga menunjukkan bahwa jika pinjaman dikenakan bunga 12%, maka nilai pinjaman akan double atau menjadi dua kali pinjaman awal pada antara tahun ke-6 dan tahun ke-7.��

Kalau bunga kita turunkan menjadi 10%, nilai Rp1.0 menjadi Rp 2.0 akan terjadi pada periode tahun ke-7 dan ke-8.� Sangat cepat!��

Bunga pinjaman perbankan di Indonesia pada umumnya adalah sekitar itu. Dengan demikian, jika bunga bank seperti itu dipakai untuk membangun perkebunan kelapa sawit, maka baru 3 tahun kebun kelapa sawit belajar berproduksi, utang perusahaan sudah akan menjadi double.�

Kalau dipakai untuk membangun perkebunan karet, hasilnya akan lebih berat lagi.�

Nah, apa tanda-tanda sebuah korporasi akan bangkrut? Jawabnya juga sangat sederhana; tidak bisa membayar utang.� Apakah kejadian semacam ini sudah pernah terjadi?�

Pada krisis ekonomi yang terjadi di tahun 1997-1998, rakyat Indonesia harus memikul beban utang luar negeri perusahaan swasta lantaran mereka tidak bisa membayar. Ini menjadi fenomena sejarah utang berutang dalam skala nasional.�

Solusinya adalah restrukturisasi atau dalam bahasa sederhananya penundaan pelunasan utang. Untuk ini ada konsekuensinya; beban utang semakin membesar.� �

Dalam skala perusahaan per perusahaan perkebunan, kita juga banyak menyaksikan perlunya restrukturisasi alias perusahaan perkebunan tidak bisa melunasi utangnya pada saat jatuh tempo.� �

Apa lawannya hukum uang yang kejam itu? Jawabannya; inovasi. Kalau hukum uang bekerja setiap waktu, maka inovasi harus bekerja setiap waktu juga dan hasilnya harus bisa mengalahkan hukum uang itu.�

Kalau hasil inovasi belum bisa mengalahkan hukum uang, jangan sesekali berutang atau meminjam uang ke lembaga pembiayaan.� �

Apakah ada perusahaan yang berusaha tanpa meminjam uang? Mungkin di antara perusahaan perkebunan yang menjaga diri agar tidak terlilit utang adalah PT Socfin di Sumatera Utara (Sumut).��

Dibanding luas areal perkebunan PTPN III, luas areal Socfin tidak seberapa. Kalau tak salah luas kebunnya hanya 40 ribu hektar. Sekitar 30 ribu hektar kebun sawit, sisanya kebun karet.�

Pemilik perusahaan ini adalah warga Belgia dengan saham mayoritas dan Indonesia saham minoritas.�

Sekali setahun Socfin menggelar Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) di Jakarta.� Keputusan RUPS biasanya menetapkan dividen sekitar 80 %. Saya cuma bisa menelan ludah mendengar itu.�

Socfin sangat fokus pada penerapan efisiensi tinggi. Misalnya; jumlah direktur waktu itu hanya satu orang, namanya Mr. Basket.�

Nilai efisiensi yang tinggi ini membuahkan nilai pendapatan dan keuntungan yang tinggi pula.�

Socfin tak pernah terbentur pada kasus restrukturisasi utang dengan perbankan. Tapi sekarang seperti apa kondisi Socfin, saya sudah kurang tahu.�

Apa yang mendorong korporasi perkebunan menjalankan strategi pembiayaan melalui utang ke perbankan? Sederhana sekali jawabnya; lantaran korporasi punya agunan.�

Ya, semua pembicaraan tentang utang kepada bank tak lepas dari agunan. Tapi untuk korporasi perkebunan BUMN atau swasta, jenis agunannya karakteristik dan asal-usulnya khusus; tanah-tanah berstatus Hak Guna Usaha (HGU) yang sebelumnya berasal dari tanah-tanah milik negara.� �

Kalau dalam kasus komoditas perkebunan harga riil-nya terus menurun dan dalam kasus utang perilaku bunga compounding, maka dalam kasus HGU, nilai land rent nya terus meningkat.�

Nilai land rent ini tidak diambil oleh Negara, tapi 100% ditangkap oleh korporasi perkebunan.��

Berapa gambaran besar nilai land rent yang ditangkap oleh korporasi perkebunan itu? Perkiraan kasarnya tergambar dalam nilai revaluasi asset lahan HGU.�

Biasanya restrukturisasi dilakukan berdasarkan hasil revaluasi asset supaya perhitungan perbankannya menjadi wajar atau normal.�

Jadi dewa penolong korporasi dari kebangkrutan itu adalah restrukturisasi yang nilai terbesar assetnya adalah tanah-tanah HGU. Lha, kita kok jadi mbulet? Usaha perkebunan atau melakukan land banking?��

Apa yang hilang? Yang hilang adalah karsa dan daya inovasi. Saya mengatakan karsa atau inisiatif untuk melakukan inovasi lantaran hanya dengan inovasi lah kita bisa mengatasi masalah penurunan harga riil komoditas perkebunan dan menghadapi masa depan dari risiko bekerjanya hukum uang.�

Akibat dari tidak adanya karsa ini, maka daya inovasi lemah. Akibat lebih jauhnya ya kita tidak akan memiliki masa depan yang cerah lantaran kita bisa memprediksi masa akhir kita adalah kebangkrutan.�

Ruh korporasi sebagian berada pada laporan keuangan. Laporan keuangan tunduk pada sistem akuntasi yang digunakan. Tahun 2005 saya mendapatkan amanah yang tak pernah diduga sebelumnya; menjabat Deputi Agroindustri, Kehutanan, Kertas, Percetakan dan Penerbitan.�

Kasus pertama, saya mempelajari akuntansi Perhutani. Di sini saya menemukan kejanggalan besar: tegakan hutan seperti pohon-pohon jati tidak dicatat sebagai asset.�

Kondisi ini menjadi penghalang besar untuk mendapatkan nilai tambah yang bisa dilahirkan dari pertumbuhan pohon jati per satuan waktu melalui sertifikasi pohon jati, misalnya.�

Dalam kasus perkebunan, saya juga kaget lantaran R&D tidak dikategorikan sebagai Capital Expenditure (Capex) atau pengeluaran untuk memperkuat perusahaan dalam meningkatkan profit.� �

Mengapa saya melihat R&D sebaiknya digolongkan sebagai Capex? Saya berpegang pada pandangan bahwa akuntasi itu ilmu dasarnya adalah ilmu ekonomi.��

Kalau kita belajar ilmu ekonomi maka dapat diketahui output dari R&D adalah produk yang punya sifat capital.

Lantaran itulah, dalam buku atau artikel ekonomi kegiatan R&D dikategorikan sebagai investasi.

Sampai-sampai pada suatu pertemuan saya membawa buku karangan Kenneth Arrow, pemenang hadiah Nobel ekonomi, untuk menunjukkan bahwa R&D itu sebagai investasi.��

Artinya, masa praktek profesi, mengalahkan ilmu dasarnya. Selain itu, Pernyatan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 20 yang lahir 10 tahun sebelumnya juga bisa dipakai menjadi dasar pelaksanaan R&D sebagai investasi.�

Alasan yang juga tidak kalah penting adalah jika kita memformulasikan R&D sebagai investasi maka kita sudah membangun pola pikir yang dengan sendirinya sudah pula mempersiapkan diri menghadapi atau membangun masa depan yang lebih baik, dengan mengatasi permasalahan yang ada sekarang atau permasalahan yang diperkirakan akan timbul pada masa depan.�

Ini adalah model rancang bangun pikiran untuk membangun kegiatan positif untuk masa depan.��

Model RPN seperti yang sudah saya sampaikan pada Memori Yang Masih Tersisa #74 adalah kontruksi kelembagaan yang didasarkan atas pemikiran di atas.�

Hanya saja 11 tahun setelah RPN berdiri, faham R&D bukan sebagai investasi masih berlanjut.�

Dengan begitu, tak akan ada ruh dan ruang inovasi bagi korporasi perkebunan, khususnya BUMN Perkebunan yang sejak 2014 atau 7 tahun yang lalu berada dalam struktur organisasi PTPN III Holding.��

Utang PTPN III Holding yang mencapai Rp 45 triliun kemungkinan hanya dalam tempo 7 tahun akan meningkat menjadi Rp90 triliun. Utang itu jatuh tempo pada 2027 atau 2028.� �

Inovasi apa yang perlu dilakukan tidak akan pernah terwujud jika pemikiran dasarnya tidak melihat R&D sebagai investasi.�

Jadi, BUMN Perkebunan akan bangkrut dengan sendirinya apabila tak ada tekad yang kuat dari para pemimpinnya untuk melakukan inovasi.


Prof. Agus Pakpahan�

Direktur Jenderal Perkebunan 1998-2003�


BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Komentar Via Facebook :

Berita Terkait :