Berita / Internasional /
Bule ini Prediksi Dampak EUDR terhadap Pasar Sawit Indonesia Tak Sedahsyat yang Dikhawatirkan
Acara Roundtable Discussion Unlocking Opportunities: Advancing Indonesia's Leadership in Sustainable Palm Oil yang berlangsung di Jakarta. Foto: Yuliani
Jakarta, elaeis.co - Kebijakan European Union Deforestation Regulation (EUDR) telah menimbulkan perdebatan luas di kalangan pelaku industri kelapa sawit Indonesia. Regulasi ini mewajibkan tujuh jenis produk, salah satunya minyak kelapa sawit, yang masuk ke pasar Uni Eropa (UE) harus memenuhi standar keberlanjutan dan bebas dari deforestasi.
Di tengah perdebatan ini, Secretary General of Delegates dari Komisi Uni Eropa, Denis Chaibi, menyampaikan perspektif yang menarik saat berbicara pada Roundtable Discussion Unlocking Opportunities: Advancing Indonesia's Leadership in Sustainable Palm Oil yang berlangsung di Jakarta, Selasa (18/2).
Dia menekankan bahwa hanya lima persen dari total produksi sawit Indonesia yang diekspor ke UE. Angka ini menimbulkan pertanyaan baru tentang sejauh mana dampak EUDR terhadap ekspor sawit Indonesia secara keseluruhan. "Indonesia adalah juara dalam produksi sawit, dengan 50 persen digunakan di dalam negeri dan 50 persen diekspor. Dari jumlah yang diekspor, hanya lima persen yang dikirim ke UE," ujarnya.
Negara tujuan ekspor utama minyak sawit Indonesia meliputi China, India, Amerika Serikat, Filipina, dan UE. “Hanya sebagian kecil yang masuk ke pasar Eropa, dengan sekitar tiga hingga empat persen berasal dari perkebunan besar yang telah tersertifikasi. Unilever, Ferrero, dan Roche adalah beberapa importir besar di UE yang sudah menerapkan sertifikasi selama bertahun-tahun," sebutnya.
“Ini berarti hanya sekitar satu hingga dua persen dari total produksi sawit Indonesia yang benar-benar terkena dampak regulasi EUDR. Dalam skala besar, angka ini menunjukkan bahwa meskipun EUDR menjadi tantangan bagi eksportir sawit Indonesia, dampaknya tidak sebesar yang dikhawatirkan,” sambungnya.
Meski begitu, menurutnya, regulasi ini tetap penting dalam konteks perdagangan global yang semakin mengedepankan prinsip keberlanjutan. Tren pasar menunjukkan bahwa konsumen Eropa semakin selektif terhadap produk yang mereka beli, terutama dalam hal keberlanjutan dan transparansi rantai pasokan.
UE sendiri, diakui Chaibi, menyadari tantangan yang dihadapi Indonesia dalam memenuhi standar ini. Oleh karena itu, mereka telah mengalokasikan dana sebesar 14 juta Euro untuk membantu petani kecil dalam proses sertifikasi.
Salah satu contoh sukses adalah proyek sertifikasi 30.000 petani kecil yang dilakukan oleh perusahaan Eropa di Indonesia dengan biaya hanya satu juta Euro. "Kami memiliki proyek senilai 14 juta Euro yang sedang berjalan untuk mendukung petani kecil," ungkapnya.
Langkah ini menunjukkan adanya niat baik dari Uni Eropa untuk memastikan bahwa petani kecil tetap memiliki akses ke pasar Eropa tanpa harus terbebani oleh biaya sertifikasi yang tinggi.
Selain Uni Eropa, negara lain juga mulai bergerak ke arah yang sama dan menunjukkan bahwa tren global mulai mengarah pada perdagangan yang lebih bertanggung jawab terhadap lingkungan. "China juga sedang mengembangkan sistem sertifikasi keberlanjutan sendiri, dan AS sedang menuju arah yang sama," katanya.
Menurutnya, hal ini bisa menjadi peluang bagi Indonesia untuk memperkuat posisi industri sawitnya di pasar global dengan menyesuaikan diri terhadap standar keberlanjutan yang semakin banyak diterapkan di berbagai negara.
“Bagi petani kecil yang belum tersertifikasi, dibutuhkan dukungan dari pemerintah, asosiasi industri, dan sektor swasta agar mereka bisa beradaptasi dengan tuntutan pasar. Jika langkah-langkah yang tepat diambil, kepatuhan terhadap regulasi seperti EUDR tidak hanya akan memastikan akses ke pasar tetap terbuka, tetapi juga meningkatkan citra industri sawit Indonesia di mata dunia,” pungkasnya.







Komentar Via Facebook :