https://www.elaeis.co

Berita / Nasional /

Bukan Beretorika, Kandidat Capres Diminta Prioritaskan Pemenuhan Energi Berbasis Lokal

Bukan Beretorika, Kandidat Capres Diminta Prioritaskan Pemenuhan Energi Berbasis Lokal

Biodiesel berbahan baku minyak sawit. foto: dok. Gapki


Jakarta, elaeis.co - Indonesia diminta mulai fokus pada penyediaan energi bersih dari sumber yang memang bersih. Ketergantungan pada sawit sebagai bahan baku Bahan Bakar Nabati (BBN) harus dikurangi untuk mewujudkan kemandirian energi pada skala lokal dan berkelanjutan.  

Pada acara 'Diseminasi Kajian Membangun Skenario Industri BBN Generasi Kedua yang Berkelanjutan, Studi Kasus Kabupaten Kapuas Hulu' yang diselenggarakan di Jakarta Senin (27/11), Deputi Direktur Yayasan Manusia dan Alam untuk Indonesia (Madani) Berkelanjutan, Giorgio Budi Indrarto mengatakan, sejauh ini energi terbarukan pada sektor transportasi masih didominasi sekitar 46% oleh biofuel.

"Utamanya biodiesel berbahan dasar sawit. Padahal berbagai fakta menunjukkan telah terjadi degradasi yang disebabkan ekspansi sawit," katanya dalam siaran pers yang diterima elaeis.co, Rabu (29/11).

"Selain itu, pilihan pemenuhan energi bersih selama ini masih bersifat terpusat (on grid). Sedangkan secara geografis Indonesia memiliki banyak wilayah terpencil. Untuk itu, memaksimalkan potensi lokal untuk bahan baku BBN selain sawit dalam pemenuhan energi daerah, menjadi skenario yang harus diprioritaskan,” tambahnya.

Acara diseminasi itu digelar Yayasan Madani Berkelanjutan sekaligus memanfaatkan momentum perhelatan akbar Pilpres 2024 dengan harapan para kandidat menunjukkan komitmen dan agenda perlindungan lingkungan. Khususnya dengan melihat kembali peluang kemandirian energi daerah-daerah di Indonesia dengan memanfaatkan potensi komoditas lokal yang ada. 

“Ketiga pasangan calon presiden dan wakil presiden sudah menyampaikan janji-janji berkaitan dengan transisi energi. Namun mereka masih belum tegas mendorong transisi energi yang dimulai dari kekayaan komoditas lokal. Komitmen soal energi terbarukan para capres wajib untuk dibersihkan dari retorika,” tandas Giorgio. 

Berdasarkan hasil kajian yang telah dilakukan, Yayasan Madani Berkelanjutan menemukan alternatif pengembangan BBN, khususnya melalui bahan baku generasi kedua. Kajian ini juga menemukan tiga faktor utama yang mendukung pengembangan BBN generasi kedua, yaitu penentu output (16,28%), pasar yang ditarget (12,70%), dan subsidi atau insentif (11,12%).

Penentu output adalah tentang ketersedian bahan baku dan teknologi. BBN generasi kedua ini merujuk pada bahan baku non pangan atau limbah seperti Nyamplung, Jarak, minyak jelantah, air cucian ikan, dan lainnya.

Yang dimaksud pasar yang ditarget yakni terkait dengan potensi calon pembeli dan strategi penjualan. Sedangkan untuk subsidi atau insentif terkait dengan dukungan kebijakan pemerintah berupa pemberian insentif atau subsidi kepada pelaku usaha yang menghasilkan BBN generasi kedua. 

Kajian tersebut dilakukan di Kabupaten Kapuas Hulu, Provinsi Kalimantan Barat. Daerah ini memiliki potensi yang besar untuk pengembangan BBN generasi kedua dan keberadaan hutannya masih baik. Pemilihan ini dilakukan berdasarkan premis bahwa semakin kaya dengan keanekaragaman hayati dan kawasan hutan, semakin besar potensi ketersediaan bahan baku.

Selain itu, daerah ini juga menjadi laboratorium untuk membangun argumen bahwa pengembangan BBN generasi kedua yang berkelanjutan bisa dilakukan di daerah yang kaya keanekaragaman hayati dan memiliki tutupan hutan yang luas sekaligus memberikan kesejahteraan dan keadilan yang lebih berpihak pada masyarakat.

Giorgio menekankan, dengan fokus mengembangkan potensi bahan baku BBN generasi kedua yang ada di daerah seperti halnya di Kapuas Hulu, maka transisi energi akan jauh lebih berkeadilan. “Jika pemanfaatan potensi lokal berhasil direalisasikan, maka kemandirian atau juga kedaulatan energi yang banyak disebut-sebut para politisi dalam janji kampanyenya akan terwujud. Itu tidak lagi berhenti menjadi sekedar janji belaka,” tegasnya.

Direktur New Ecology Energy Indonesia, Muhammad Hafnan menyatakan bahwa Indonesia tidak perlu takut untuk mengembangkan BBN dari bahan baku generasi kedua karena banyaknya potensi komoditas yang ada. 

Ia juga mengatakan bahwa perlu dibangun pusat informasi atau hub bagi para pelaku BBN di daerah. “Gunanya sebagai tempat berbagi informasi bagi para pelaku BBN di daerah, misalnya saja seperti membangun BBN Center untuk pengembangan BBN,” ujarnya. 

Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, menyebut peran BBN dalam transisi energi Indonesia cukup signifikan. Oleh karena itu, memprioritaskannya dan memastikan keberlanjutannya merupakan langkah yang terbaik dari pada berjanji untuk menghentikan impor BBM yang sukar terwujud.

Dia menyebut bahwa saat ini kebutuhan BBM mencapai 1,5 juta barrel per hari dan diperkirakan akan mencapai 1,8 juta barrel per hari di 2030. Sedangkan, kapasitas produksi BBM di dalam negeri setelah seluruh pengembangan kilang Pertamina selesai hanya mencapai 1,2 juta barrel per hari, artinya ada defisit BBM dalam negeri 0,4 sd 0,6 juta barrel per hari.

“Karena itulah, mendorong pemanfaatan BBN yang berkelanjutan dalam transisi energi ini adalah langkah yang lebih realistis ketimbang kandidat berjanji menghentikan impor BBM yang bagi saya tidak realistis. Karena sulit dihentikan tanpa mengatur permintaan dan peningkatan pasokan bahan bakar non-konvensional, termasuk dari BBN,” pungkasnya. 
 

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Komentar Via Facebook :