Berita / Nasional /
Buat Resah, PT ABT Klaim Tanah Miilik Ribuan Warga Pemayungan
 
                Baliho penolak masyarakat terhadap PT. Alam Bukit Tigapuluh di Desa Pemayungan, Foto:Ist
Jambi,elaeis.co - Lebih dari 1.000 kepala keluarga yang tersebar di enam rukun tetangga di Desa Pemayungan, Kecamatan Sumay, Kabupaten Tebo, Provinsi Jambi, kini dilanda keresahan. Bukan karena efek Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang baru saja usai, melainkan karena kabar yang menyebutkan bahwa tanah dan kebun yang telah mereka usahai selama ini akan dipasangi patok batas oleh PT. Alam Bukit Tigapuluh (ABT).
Keresahan warga semakin meningkat setelah kabar beredar bahwa pemasangan patok batas tersebut akan melibatkan aparat non sipil. Selain itu, kabar lainnya menyebutkan bahwa warga yang mencoba menghalangi pemasangan patok batas tersebut akan menghadapi proses hukum.
Yang semakin memicu kekhawatiran warga, sejumlah lahan dan kebun yang telah dikelola masyarakat ternyata telah tercatat dalam SK Data dan Inventarisasi (Datin) Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk menjalani proses skema ultimum remedium UUCK, namun tetap dipasangi patok oleh perusahaan.
Camat Sumay, Ambiar, membenarkan kabar pemasangan patok tersebut. Ia mengungkapkan bahwa ia yang menandatangani surat undangan agar masyarakat berkumpul di Kantor Desa Pemayungan.
“Kami ingin masyarakat memahami tujuan pemasangan patok batas tersebut, dan patok-patok itu akan dipasang sesuai dengan peta areal kerja perusahaan,” katanya dikutip dari Wartaekonomi.co.id pada Senin, (2/12)
Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Tebo Barat, Feri Irawan, juga mengonfirmasi bahwa pemasangan patok batas tersebut dilakukan sesuai dengan peta areal kerja perusahaan. Menurutnya, lahan-lahan yang dikelola oleh masyarakat berada di kawasan hutan yang sejak 2015 telah dialokasikan oleh pemerintah untuk dikelola oleh perusahaan.
“Proses penataan batas memang memakan waktu lama karena ada penolakan dari masyarakat. Pemerintah mendesak agar perusahaan melakukan penataan batas, dan itulah alasan pemasangan patok batas ini dilakukan,” ujarnya.
Namun, saat ditanya mengenai pelaksanaan amar ketujuh dari SK 7 tahun 2015 yang dikeluarkan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) sebagai dasar konsesi perusahaan di Desa Pemayungan, Feri mengaku tidak mengetahui hal tersebut. Ia menjelaskan, pihaknya berpatokan pada aturan dari Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH).
“Yang jelas, tidak ada enclave. Karena areal ini adalah kawasan hutan,”katanya.
Feri menambahkan, meski masyarakat berada di kawasan hutan, mereka tidak akan digusur, melainkan diarahkan untuk mengikuti program perhutanan sosial. Salah satu ketentuan yang berlaku adalah mereka tidak boleh menanam sawit.
“Sawit yang sudah ada hanya boleh dipelihara untuk satu daur dan tidak boleh dilakukan replanting. Selain itu, mereka harus menanam pohon di sela sawit mereka, minimal 100 batang per tahun,” tuturnya.
Pada tahun 2015, PT. ABT memperoleh Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Restorasi Ekosistem (IUPHH-RE) seluas 38.665 hektar dari BKPM. Izin tersebut dibagi dalam dua blok, dengan Blok II yang terletak di Pemayungan memiliki luas 16.570 hektar.
Izin dengan nomor: 7/1/IUPHHK-HA/PMDN/2015 yang ditandatangani oleh Franki Sibarani tersebut masih berupa izin penunjukan, meski luas arealnya sudah ditetapkan. Dalam amar kedua SK tersebut disebutkan bahwa luas dan letak definitif areal kerja IUPHHK-RE akan ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan setelah dilakukan penataan batas di lapangan.
Selain itu, pada amar ketujuh SK tersebut disebutkan bahwa jika di dalam areal IUPHHK-RE terdapat lahan yang telah menjadi tanah milik, perkampungan, tegalan, atau persawahan yang telah dikelola oleh pihak ketiga secara sah, maka lahan tersebut akan dikeluarkan dari areal kerja IUPHHK-RE.
Konflik antara masyarakat dan PT. ABT di Desa Pemayungan telah berlangsung sejak 2016. Bentrokan fisik antara pihak perusahaan dan warga sempat terjadi, dengan perusahaan kerap melibatkan aparat non sipil untuk menghadapi konflik tersebut.
“Mestinya tidak melibatkan aparat. Itu sudah termasuk dalam upaya intimidasi,” kata Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Provinsi Jambi, Abdullah.
Dia menambahkan, WALHI Jambi telah mendampingi masyarakat Desa Pemayungan sejak 2011, namun upaya penyelesaian yang diajukan, seperti skema perhutanan sosial dan Tanah Objek Agraria (TORA), tidak diterima oleh masyarakat.
Pakar Hukum Kehutanan, Dr. Sadino, mengingatkan bahwa jika pemasangan patok batas dipaksakan dan lahan masyarakat masuk ke dalam konsesi, hal tersebut dapat menjadi objek gugatan tata usaha negara.
“Masyarakat berhak menggugat. Selama gugatan belum diselesaikan, pengukuhan batas tidak dapat dilakukan,” ujarnya.
Menurut Sadino, diktum dalam SK yang menyatakan bahwa kawasan hutan tidak jelas dan harus diselesaikan menunjukkan bahwa masyarakat memiliki hak atas lahan tersebut.
“Apapun alasan penataan batas, tidak serta merta membatasi hak masyarakat yang sudah menggarap lahan tersebut,” ujarnya.
Hingga kini, juru bicara PT. ABT, Nety Riana, belum memberikan tanggapan terkait pertanyaan yang diajukan oleh Warta Ekonomi melalui pesan WhatsApp, meski sebelumnya ia telah meminta agar pertanyaan tersebut dikirimkan. Beberapa kali upaya konfirmasi melalui pesan dan telepon WhatsApp tidak mendapatkan respons.

 
        	





Komentar Via Facebook :